Salah satu sebab utamanya adalah karena kondisi iklim dan tanah setempat yang hanya cocok untuk bibit padi varietas lokal. Penanaman padi dengan varietas unggul sering kali berakhir dengan kekecewaan akibat produksi yang sangat rendah.
“Harga jual gabah giling yang kami hasilkan kira-kira setara dengan harga gabah kualitas terendah dari sawah-sawah di dataran rendah,” papar Kang Dimi, sapaan akrabnya.
Tidak mendapatkan keuntungan yang signifikan, bahkan sering merugi, menjadikan hasil panen dikonsumsi sendiri untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga.
Sehingga sebagian besar petani sawah tidak menjadikan sawah sebagai sumber penghasilan utama rumah tangga dan mendiversifikasi lahan sawah mereka untuk komoditas ekonomi lain seperti jamur dan labu siam. Tidak sedikit juga petani yang mencari penghasilan tambahan melalui pekerjaan non-pertanian.
Berdasarkan data dari Kantor Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Ciwidey, Kelompok Tani Kampung Kreatif ini mengelola sawah seluas 30,96 hektare yang dikelola oleh 212 petani.
Rata-rata, setiap petani mengelola 0,37 hektare sawah atau 264 tumbak (1 tumbak = 14 m persegi). Luas kepemilikan yang relatif kecil ini menjadikan tantangan tersendiri bagi Kang Dimi dan para anggotanya untuk tetap memenuhi kebutuhan konsumsi pangan mereka.
Untungnya, semangat untuk mempertahankan identitas sebagai “orang desa”, mendorong mereka untuk terus menggarap sawah. Sehingga sering ditemukan di lapangan, selain memiliki sawah yang sempit mereka menjadi petani penyekap yang mengelola lahan sawah yang dimiliki penduduk yang tinggal di Bandung atau kota-kota lainnya.
Tantangan berbeda dihadapi oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di KAC. Bagi Iman Sulaeman, koordinator Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Ciwidey, kondisi di lapangan sangat kontras dengan data yang tercatat di kantor.
Target produksi padi yang ditetapkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bandung sering kali sulit dicapai karena adanya alih fungsi lahan, terutama alih fungsi sawah menjadi non-pertanian.
"Pernah kami meninjau ke sebuah desa yang ditargetkan menghasilkan 50 ton beras. Ternyata sawahnya sudah tidak ada walau termasuk LP2B," ujarnya.
Baca Juga: Riset Geoinformatika Bisa Bantu Wujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR