Menurut pria yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bidang Sarana Produksi (Sapras) Dinas Pertanian Kabupaten Bandung tersebut, semua data yang terkait lokasi sawah-sawah LP2B di Kabupaten Bandung telah dipetakan oleh Badan Pertanahan Nasional dan disinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung.
Penetapan LP2B merupakan bagian dari program nasional untuk ketahanan pangan sesuai dengan amanat UU No. 41/2009. Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah telah menetapkan kriteria sawah yang layak ditetapkan sebagai LP2B melalui Peraturan Pemerintah No. 01/2011 dan Peraturan Menteri Pertanian No. 07/2012.
Kriteria tersebut mencakup (1) kesatuan hamparan, (2) potensi teknis dan kesesuaian lahan, (3) infrastruktur dasar, serta (4) telah dimanfaatkan sebagai pertanian pangan.
Berdasarkan peraturan tersebut, setiap lahan sawah yang telah ditetapkan sebagai LP2B tidak boleh dialihfungsikan menjadi lahan pertanian non pangan. Oleh karena ini pemilik lahan tersebut sebisa mungkin untuk memelihara kegiatan produksi pangan, terutama padi, pada sawah-sawah tersebut.
Sebab, pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda atau bahkan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sayangnya implementasi program LP2B tidak terdengar gaungnya di lapangan. Hasil survei yang dilakukan di Desa Sukawening, Kecamatan Ciwidey–desa yang merupakan wilayah kajian tim peneliti dari Departemen Geografi FMIPA UI sejak tahun 2020 menunjukkan bahwa tidak ada satu pun petani sawah yang mengetahui bahwa petak sawah mereka masuk dalam penetapan LP2B.
Beberapa dari mereka pernah mendengar istilah LP2B, tetapi mereka tidak pernah diajak berdiskusi atau ditanya mengenai pemberian status atas sawah-sawah mereka.
Apalagi dengan implikasi yang mengikutinya. Tidak sedikit yang telah mengubah petak sawahnya menjadi kebun hortikultura sepanjang tahun, atau bahkan telah berubah menjadi bangunan rumah.
Petani sawah di KAC menyebut lahan mereka sebagai “sawah gunung” karena berada pada ketinggian lebih dari 800 mdpl. Sebutan ini tidak hanya membedakannya dengan sawah-sawah di dataran yang lebih rendah, di sekitar Kota Soreang, ibu kota Kabupaten Bandung, tetapi juga mencerminkan kualitas padi yang dihasilkan.
Ketua Kelompok Tani Kampung Kreatif di Pasirhonje, Desa Sukawening, Dimiati, menceritakan bahwa kualitas padi di desanya jauh lebih rendah dibandingkan sawah-sawah dataran rendah.
Baca Juga: Ketahanan Pangan Memang Penting, Tapi Jangan Lupakan Ketahanan Nutrisi
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR