Oleh Hafid Setiadi dan Nurrokhmah Rizqihandari dari Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia
Nationalgeographic.co.id—Terkenal dengan hamparan hijau dan udara sejuk pegunungan, Kawasan Agropolitan Ciwidey (KAC) di kaki Gunung Patuha telah lama menjadi pusat pertanian dan pariwisata.
Sejak dekade 1980-an, pertanian telah menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat setempat. Penetapan KAC di tiga Kecamatan, Ciwidey, Pasirjambu, dan Rancabali, pada tahun 2007 tidak hanya memperkuat sektor pertanian, tetapi juga menjadikan kawasan ini sebagai destinasi wisata yang populer, terutama bagi mereka yang menyukai wisata alam dan agrowisata.
Interaksi antara sektor pertanian dan pariwisata yang semakin erat telah membentuk dinamika sosial ekonomi yang unik di wilayah ini, masyarakatnya dapat menikmati manfaat dari kedua sektor tersebut.
Ciwidey menawarkan perpaduan unik antara keindahan alam dan aktivitas pertanian. Hamparan petak pertanian sayur mayur warga, bentangan kebun teh peninggalan kolonial abad ke-19, dan fitur-fitur alamiah aktivitas vulkanik Gunung Patuha seperti Kawah Putih, Kawah Rengganis, Situ Patengan, dan beberapa tempat pemandian air panas, menciptakan panorama alam yang menakjubkan.
Belum lagi atraksi petik langsung buah stroberi segar di kebun-kebun milik warga di tepi jalan utama memberikan pengalaman menarik bagi pengunjung.
Di sisi lain, di balik bentangan tanaman hortikultura dan potensi pariwisata yang besar, KAC berperan penting dalam ketahanan pangan lokal penduduk.
Terdapat 11 ribu hektare lahan sawah di Kecamatan Ciwidey dan Pasirjambu, dari 144 ribu hektare sawah di Kabupaten Bandung yang tercatat pada tahun 2023. Walaupun hanya 12% dari seluruh lahan sawah Kabupaten Bandung, lahan sawah di KAC ini mampu menyumbang 6-7 ton per hektare per tahunnya.
Sayangnya sawah-sawah ini terus berkurang, sejak 2019 hingga 2023, lebih dari 4.000 hektare sawah telah mengalami alih fungsi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah Kabupaten Bandung telah menetapkan sekitar 31.000 hektare sawah sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) melalui Perda No 1 Tahun 2019.
“Sawah-sawah yang beralih fungsi itu umumnya berada di tepi jalan besar atau lokasi strategis lainnya di perkotaan yang memang bukan bagian dari LP2B,” ucap Yayan Agustian saat berbincang dengan tim peneliti dari Departemen Geografi FMIPA UI pada 2020 lalu.
Baca Juga: Mengapa Indonesia Tergantung pada Beras dan Mengapa Ini Berbahaya?
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR