Saat fase pertama Perang Peloponnesos berkecamuk, Socrates bertempur di Pertempuran Delium. Pertempuran tersebut, pada tahun 424 SM, menjadi insiden pertama yang tercatat dari apa yang sekarang disebut sebagai korban "friendly fire".
Friendly fire adalah istilah dalam perang yang menggambarkan situasi di mana pasukan sendiri secara tidak sengaja menyerang atau melukai anggota pasukannya sendiri.
Alasannya adalah bahwa hoplites yang kebingungan mulai saling bertarung, tidak dapat membedakan sesama orang Athena dari musuh mereka, orang Boeotia.
Meskipun sempat meraih beberapa kemenangan awal, pasukan Athena akhirnya kalah. Namun demikian, Socrates tampaknya berhasil menjaga ketertiban selama mundur dari pertempuran.
Jenderal Athena, Laches, memuji sang filsuf dengan mengatakan: “Jika semua orang Athena bertempur seberani Socrates, orang-orang Boeotia tidak akan mendirikan patung kemenangan.”
Pelayanan militer terakhir Socrates terjadi di Amphipolis. Ketika itu usianya mendekati 48 tahun, namun perannya dalam pertempuran tersebut tidak jelas.
Kemenangan Sparta di Amphipolis segera mengarah pada perjanjian gencatan senjata dengan Athena, menandai berakhirnya fase pertama perang.
Socrates Menikah
Setelah perang, Socrates menikahi Xanthippi. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa ia kemudian juga menikahi seorang wanita bernama Myrto.
Dikatakan pula bahwa, karena banyak orang Athena tewas dalam Perang Peloponnesos, sebuah undang-undang khusus diberlakukan yang mengizinkan pria yang sudah menikah memiliki anak dengan wanita lain.
Namun, Plato dan Xenophon hanya menyebutkan Xanthippi, seorang wanita yang dikenal keras kepala dan suka berbicara tajam.
Dalam sebuah dialog antara Socrates dan Alcibiades, Alcibiades bertanya bagaimana Socrates mampu menghadapi keluhan Xanthippi. Socrates menjawab: “Seperti kamu menahan suara berisik angsa karena mereka memberimu telur dan anak angsa, begitu pula Xanthippi memberiku anak-anak.”
Terlepas dari apakah Socrates memiliki satu atau dua istri, ia memiliki tiga anak laki-laki: Lambrocleas, Menexenos, dan Sophroniscus.
Semua filsuf dan sejarawan setelahnya sepakat bahwa ketiga putra Socrates tidak menonjol dalam hal apa pun, bahkan Aristoteles menggambarkan mereka sebagai pemalas.
Xanthippi disebutkan oleh Xenophon dalam drama "Symposium", di mana Antisthenes menggambarkannya sebagai wanita paling sulit dihadapi yang pernah ada.
Ketika Socrates ditanya bagaimana ia bisa bertahan hidup bersama wanita seperti itu, ia menjawab bahwa seperti halnya mereka yang ingin menjadi penunggang kuda terbaik memilih kuda paling liar untuk dijinakkan.
Ia memilih Xanthippi agar dapat belajar menghadapi semua orang, bahkan yang paling sulit sekalipun.
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR