Nationalgeographic.co.id—Aktivis lingkungan dan konservasionis asal Aceh, Farwiza Farhan, memberikan sentuhan akhir yang menginspirasi di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (1/12/2024).
Dalam pidato penutupan 2024 JILF x JakTent, yang merupakan hasil kolaborasi antara Jakarta International Literary Festival 2024 dengan Jakarta Content Week, wanita yang dikenal sebagai sosok yang gigih dalam melindungi Hutan Leuser, berbagi kisah perjalanan hidupnya yang tak terpisahkan dari dunia buku.
Sosok yang akrab disapa Wiza ini memulai pidatonya dengan menyatakan rasa hormatnya kepada siapa pun yang telah berani bersikap, termasuk dalam mendukung kebebasan berekspresi, melawab bias, dan melawan penindasan, termasuk terhadap Palestina.
Sebab, menurut Wiza, hal ini juga senada dengan tema dari JILF 2024, yaitu "F/acta: Words & Actions Aligned" yang dalam pandangannya, menunjukkan betapa pentingnya keselarasan antara kata-kata dan tindakan kita.
Awal petualangan si ahli biologi
Selanjutnya, penerima National Geographic Wayfinder Award 2022 ini mengungkapkan perasaan bingungnya saat dirinya diminta untuk memberikan pidato penutup pada gelaran JILF 2024.
"Saya bukan penulis, tidak pernah menerbitkan satu buku pun, bahkan tidak menyelesaikan disertasi PhD setelah sepuluh tahun merenungkannya," tuturnya.
Kendati demikian, Wiza melihat peran yang ia jalani sebagai ahli biologi, aktivis, dan antropolog budaya sebagai sebuah kesatuan yang saling melengkapi dalam upaya konservasi. "Pekerjaan saya dalam konservasi bukanlah upaya linier tunggal, melainkan upaya lintas sektor yang seringkali rumit," ungkapnya.
Wiza kemudian mengajak pengunjung untuk menyelami perjalanan intelektualnya melalui buku-buku yang membentuk pemikiran, mendorongnya bekerja, menginspirasinya, hingga memicu ide serta imajinasinya.
"Di awal hidup saya, saya jatuh cinta pada ekosistem terumbu karang. Ikan-ikan berwarna-warni dan struktur bawah lautnya memikat imajinasi saya," kenang Wiza yang mengaku bisa menghabiskan waktu berjam-jam kala mengamati interaksi antara organisme-organisme tersebut.
Sampai akhirnya dia, "Berjanji akan melakukan segala daya untuk memahaminya," ungkapnya. "Begitulah perjalanan Wiza si ahli biologi dimulai.
Baca Juga: Kata-kata yang Menjembatani Dunia: Suatu Refleksi dari Hiromi Kawakami
Dampak negatif tindakan manusia terhadap alam
"Beberapa tahun lalu, saya diberi hadiah sebuah buku yang begitu memikat sehingga saya membacanya tiga kali dan merekomendasikannya kepada semua orang yang saya kenal," lanjut Wiza.
Buku yang dimaksud adalah "The Invention of Nature" karya Andrea Wulf, sebuah kisah yang menghidupkan kembali sosok Alexander von Humboldt, seorang ilmuwan abad ke-19 yang visioner dan revolusioner.
Humboldt, seorang polymath sejati, tidak membatasi dirinya pada satu disiplin ilmu. Ia menjelajahi berbagai bidang, dari biologi hingga geologi, dan menciptakan pemahaman holistik tentang alam semesta.
Melalui ekspedisinya yang berani dan pengamatan yang cermat, Humboldt mengajarkan kita bahwa alam adalah sebuah sistem yang saling terhubung, di mana setiap elemen memiliki peran yang penting.
"Humboldt adalah seorang ahli biologi, fisikawan, ahli ekologi, ekonom, dan segala macam ilmu lainnya," lanjut Wiza. "Keingintahuannya mendorongnya untuk menciptakan artikulasi ilmiah awal tentang alam, mengembangkan teori tentang jaring kehidupan, dan mengakui dampak negatif tindakan manusia terhadap alam dan masyarakat adat."
Ide-ide Humboldt yang radikal untuk masanya, seperti konsep tentang perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan pentingnya melindungi keanekaragaman hayati, masih sangat relevan hingga kini. Namun, ironisnya, meskipun kita telah belajar banyak dari Humboldt dan para ilmuwan lainnya, krisis iklim semakin memburuk.
"Ide-ide Humboldt mungkin telah membentuk dasar lingkungan modern dan memulai percakapan tentang eko-sastra, tetapi 90% dari upaya untuk melindungi planet ini dan setiap ekosistem di dalamnya sebenarnya berurusan dengan satu spesies tunggal: Homo sapiens," tegas Wiza.
Fokus utama upaya konservasi memang pada manusia. Kita berupaya memahami perilaku kita, dampak kita terhadap lingkungan, dan bagaimana kita dapat hidup berdampingan dengan alam secara harmonis. Namun, upaya ini belum cukup.
29 tahun dan selalu gagal
"Para pemimpin dunia baru saja menyelesaikan UNFCCC COP ke-29 di Baku, Azerbaijan," lanjut Wiza. "Negara-negara berkembang, negara-negara kepulauan kecil, aktivis, dan masyarakat adat menangis kesakitan karena betapa tidak menghormati dan tidak adilnya negosiasi ini."
Baca Juga: 2024 JILF x JakTent: Sarana Menggarap Isu-isu Sastra Mutakhir
COP29, konferensi iklim terbaru, sekali lagi gagal menghasilkan kesepakatan yang ambisius untuk mengatasi krisis iklim. Padahal, para ilmuwan telah memberikan peringatan yang jelas dan tegas tentang bahaya pemanasan global.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan PBB yang bertugas mengevaluasi risiko perubahan iklim, telah dibentuk sejak tahun 1988 dan sejak saat itu telah menerbitkan banyak laporan yang memperingatkan tentang konsekuensi dari pembiaran emisi gas rumah kaca terus meningkat.
IPCC sendiri sudah dibentuk pada tahun 1988 dan COP pertama tentang iklim diadakan pada tahun 1995, 29 tahun yang lalu. Berarti, menurut Wiza, kita telah melakukan percakapan ini selama 29 tahun, dan setiap COP dipenuhi dengan begitu banyak harapan untuk kemajuan.
"Sayangnya, setiap tahun dekade ini juga menandai tahun terpanas dalam catatan sejarah, dan krisis ini menyakiti yang paling miskin dan lemah di antara kita," ungkap Wiza dengan nada kecewa.
Garis lurus antara eksploitasi kolonial dan krisis iklim
Sulung dari lima bersaudara tersebut kemudian bergeser ke buku selanjutnya, yaitu novel "The Nutmeg's Curse," karya Amitav Ghosh. Dalam novel tersebut, jelas Wiza, Ghosh menarik garis lurus antara eksploitasi kolonial dan krisis iklim saat ini.
Keduanya, menurut Ghosh, adalah produk dari sistem yang sama: sebuah sistem yang menempatkan keuntungan ekonomi di atas segala hal, termasuk keseimbangan ekosistem dan hak-hak masyarakat adat.
Kolonialisme, dengan model ekstraksi sumber daya yang tak terkendali, telah meninggalkan bekas luka mendalam pada planet kita. Hutan ditebang, tanah digunduli, dan sungai tercemar. Akibatnya, keanekaragaman hayati menurun drastis, dan pola cuaca menjadi tak terprediksi.
Wiza menilai pola historis ekstraksi sumber daya dan kerusakan lingkungan melalui kolonialisme ini terkait langsung dengan krisis iklim saat ini. Sebab, keduanya membentuk sistem dinamika kekuasaan global yang didasari oleh eksploitasi serta pengabaian terhadap konsekuensi ekologis.
"Tetapi planet ini tidak sepenuhnya tidak berdaya," papar Wiza. Baginya, planet adalah entitas yang hidup dan esensial, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bertindak, yang dapat termanifestasi baik secara langsung melalui bentuk individu atau melalui fenomena seismologis seperti letusan gunung berapi atau gempa bumi.
Baca Juga: JILF 2024: Kata-kata dan Tindakan Selaras pada Sastra Ekologi
Dalam pandangan masyarakat modern, hubungan dengan alam sering kali dianggap sebagai mitos, fantasi, atau sekadar imajinasi. Namun, bagi pemegang pengetahuan tradisional dan masyarakat adat, entitas non-manusia merupakan elemen penting dari komunitas mereka, berdiri sejajar dengan anggota manusia dalam keluarga mereka.
Suara rimba dari Amazon
“Selama bertahun-tahun mengejar pemahaman tentang dunia alam dan menjadi ahli biologi, kemudian mempelajari tentang masyarakat manusia sebagai antropolog budaya, pada intinya saya masih seorang aktivis," ungkap Wiza.
Refleksi mendalam ini mengantar kita pada pemahaman yang lebih luas tentang aktivisme konservasi, khususnya dalam konteks perlindungan ekosistem yang kompleks seperti Leuser.
Wiza, dengan latar belakangnya yang kaya akan ilmu pengetahuan alam dan sosial, menyoroti pentingnya peran masyarakat lokal dalam upaya konservasi. "Aktivisme konservasi harus didasarkan dan dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kepentingan dalam perlindungan lanskap ini," tegasnya
Pandangan ini menemukan gema yang kuat dalam buku terbaru Nemonte Nenquimo, seorang pemimpin Waorani dari Amazon Ekuador. Buku berjudul "We Will Not Be Saved" tersebut merupakan sebuah karya monumental yang menyuarakan perspektif masyarakat adat dalam menghadapi ancaman terhadap lingkungan hidup.
Nemonte, melalui memoirnya, mengajak pembaca untuk menyelami sejarah lisan bangsa Waorani yang telah berlangsung ribuan tahun. "Karena bagi bangsanya, cerita tidak pernah ditulis, karena cerita adalah makhluk hidup yang sakral, untuk dirawat dan diperlakukan dengan hati-hati," tulis Nemonte.
Dalam kisah Nemonte, hutan hujan Amazon dibangkitkan, memunculkan dialog antara manusia dan flora, pertukaran esensi antara manusia dan fauna, serta keyakinan suku bangsanya, keturunan Jaguar, bahwa kematian akan mengizinkan mereka untuk bereinkarnasi sebagai Jaguar.
"Ini membawa saya pada kisah yang lebih dekat dengan rumah, para dukun Harimau atau pawang harimau yang menghuni hutan Leuser," kenang Wiza.
Buku ini merupakan hadiah dan juga seruan untuk beraksi demi planet kita. Membacanya secara pribadi menimbulkan berbagai emosi dalam dirinya: kemarahan, kesedihan, rasa takut, namun juga kegembiraan dan harapan.
Kekuatan untuk menyalakan
Pada akhir pidatonya, peraih Whitley Award 2016 tersebut kemudian merenungkan tema festival tahun ini: F/acta: Words & Actions Aligned.
Selanjutnya, dirinya mengajak semua orang untuk menyempatkan diri memvisualisasikan peran mereka dalam membentuk dunia yang lebih baik. Sebuah dunia di mana kata-kata dan tindakan kita sejalan, dilaksanakan dengan kepedulian dan cinta terhadap planet ini serta segala bentuk kehidupan yang mendiaminya..
Mengapa ini begitu penting? Karena menurut Wiza, inilah yang menjadi awal, yang mendukung dan merawatnya, serta yang akan mengantarkannya menuju masa depan.
"Meskipun imajinasi bersifat pribadi, sastra memiliki kekuatan untuk menyalakannya," pungkas Wiza.
KOMENTAR