Anak-anak yang merantau lebih sering jajan demi kepraktisan, dan ketika mereka berkeluarga, memasak menjadi tantangan besar. Banyak yang merasa memasak itu merepotkan karena keterbatasan waktu, ruang dapur yang sempit, dan kurangnya pengetahuan tentang resep tradisional. Bahkan ketika resep tersedia di internet, langkah-langkah yang panjang kerap membuat orang enggan mencoba.
Alhasil, makanan khas Indonesia menjadi semakin langka dan tidak dikenal. Dengan menurunnya permintaan, penjual makanan lokal juga berkurang, sehingga harga hidangan tradisional menjadi mahal. Ini menciptakan kesan bahwa makanan Indonesia kalah bersaing dengan makanan cepat saji, makanan Jepang, atau hidangan Barat.
Kita kerap melupakan aneka makanan lokal yang tak kalah kaya manfaat. Dulu, memasak bersama dengan ibu atau nenek adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, tetapi sekarang banyak dari kita yang beralih ke makanan cepat saji atau meniru menu luar negeri. Pangan lokal yang penuh nilai budaya ini perlahan-lahan mulai terkikis.
Mengembalikan pangan lokal ke meja makan tentu bukanlah tugas mudah. Di era media sosial yang serba cepat ini, muncul tren “ahli gizi dadakan,” terutama terkait pola makan anak. Dari makanan pendamping ASI (MPASI) hingga berbagai menu yang diklaim bisa meningkatkan berat badan, tinggi badan, hingga kecerdasan anak. Sayangnya, banyak dari makanan yang disarankan bukanlah produk lokal Indonesia. Sebut saja goji berry, ikan shishamo, ikan dori, kaviar, atau ginkgo biloba—makanan-makanan yang kini akrab menghiasi linimasa para pendengung atau influencer.
Makanan tidak lagi soal gizi, tetapi lebih kepada gengsi. Banyak publik figur dan influencer kerap memamerkan pilihan makanan mahal untuk anak-anak mereka. Hal ini mendorong orangtua lain untuk mengikuti tren serupa, seolah-olah makanan yang terlihat mewah pasti lebih baik dan bergizi. Akibatnya, bahan pangan lokal seperti ikan lele, gurami, kangkung, atau tomat mulai terpinggirkan.
Padahal, kualitas produk pangan lokal kini sudah jauh lebih baik. Lele misalnya, kini banyak dibudidayakan di tambak bersih. Kangkung yang dulu sering dianggap sebagai tanaman liar kini hadir dalam bentuk segar dan higienis. Namun, popularitas pangan lokal semakin menurun karena anggapan bahwa makanan impor lebih prestisius dan bernutrisi tinggi.
Menghidupkan kembali resep tradisional
Ironisnya, di tengah menjamurnya makanan impor, kita sering melupakan betapa banyaknya alternatif pangan lokal yang tak kalah lezat dan bergizi. Contohnya, alih-alih membeli ikan dori fillet, kita bisa mem-fillet gurami menjadi hidangan asam manis tanpa duri.
Olahan ikan tanpa duri lainnya bisa kita jumpai pada pempek dan otak-otak. Sangat disayangkan saat ini justru hadir varian pempek tanpa ikan—yang dijual dengan harga murah— muncul sebagai versi terjangkau dari makanan khas Palembang itu. Meski esensi dan nilai gizinya hilang, pempek tanpa ikan sangat diminati ketimbang pempek asli ikan. Padahal, pempek dari ikan tenggiri juga aman dan kaya protein, setara dengan ikan shishamo—yang banyak dipilih karena tanpa duri.
Contoh serupa terjadi pada daging. Meatballs atau bola-bola daging ala Barat lebih populer di kalangan anak-anak dibanding semur, galantin, atau selat Solo. Sementara itu, banyak orang tua yang menuangkan santan ke dalam blender bahan-bahan makanan MPASI, tetapi lupa bahwa masakan Indonesia seperti lodeh, bobor bayam, mangut ikan, gadon daging, gudeg, bubur gurih, nasi uduk dan nasi kuning serta opor ayam sudah mengandung santan dan dapat pula dibuat cocok untuk anak-anak. Bahkan aneka kue tradisional seperti nagasari dan klapertaart juga dapat diadaptasi untuk menu keluarga dengan bumbu yang disesuaikan.
Penutup
Mengembalikan pangan lokal ke meja makan tidak hanya membutuhkan perubahan jenis makanan, tetapi juga peningkatan keterampilan memasak bagi semua kalangan. Langkah-langkah seperti memperbanyak pelatihan memasak, berbagi resep online, berbagi tips dan trik memasak online, serta menyelenggarakan bazar makanan tradisional yang dibarengi dengan demo masak, dapat menjadi solusi masalah ini.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR