Kisah oleh Maria Novianita Mulyani
Nationalgeographic.co.id—Ketika berbicara tentang pangan lokal, saya teringat peristiwa yang terjadi dua puluh tahun lalu. Pada 2004, saat baru saja lulus kuliah dan baru bekerja sebagai pegawai di sebuah penerbitan, Ayah saya tiba-tiba jatuh sakit.
Saya masih pegawai baru dan belum bisa mengambil izin cuti, sedangkan adik sekolah kelas 3 SMA, sedang persiapan ujian. Maka, Ibulah yang menjaga ayah di rumah sakit. Karena Ibu yang harus terus mendampingi beliau di rumah sakit, urusan rumah tangga, termasuk memasak, menjadi tanggung jawab saya dan adik.
Masalahnya, kami sama sekali tidak bisa memasak! Saya yang sejak SMA sudah merantau dan tinggal di kos, tidak pernah masuk dapur. Adik meskipun tinggal di rumah, juga tidak terbiasa memasak. Semua hidangan di meja makan kami adalah hasil karya Ibu.
Akhirnya, pilihan makanan kami berdua hanya berkisar pada menu seadanya—menggoreng telur dan memasak nasi. Bahkan untuk sekadar menggoreng tempe dan tahu, kami harus meminta Ibu menuliskan bumbu marinasi sederhana. Apalagi untuk memasak sayur semacam sayur bening bayam atau sayur asam. Ibu harus menuliskan catatan pada rak bumbunya, mana lengkuas, mana kunci dan mana daun salam.
Dalam kebingungan memilih menu, kami sering kali akhirnya memilih makan di warung terdekat. Akibat kurangnya variasi dan gizi pada makanan, tubuh kami pun merespons. Saya dan adik bergantian terkena influenza. Peristiwa ini membuat saya menyadari betapa pentingnya kemampuan memasak.
Kisah seperti yang saya alami sepertinya banyak terjadi. Bedanya generasi masa kini lebih beruntung sebab kemajuan teknologi telah mendorong kehadiran penjual makanan online. Meskipun pilihan makanannya terkesan itu-itu saja, tetapi sudah sangat menolong orang-orang yang berada dalam keadaan seperti kisah saya tadi.
Mengingat pengalaman saya di masa lalu tersebut, terasa jelas bahwa keterampilan memasak makanan lokal perlu ditumbuhkan kembali. Melalui memasak, kita tidak hanya menyajikan makanan, tetapi juga mewariskan budaya kepada anak-cucu. Dengan adanya inisiatif pelatihan memasak, berbagi resep dan tutorial memasak secara online, atau mengadakan bazar makanan tradisional yang dibarengi dengan demo memasak, kita bisa mulai menumbuhkan minat generasi muda terhadap memasak pangan lokal.
Pangan lokal: akar budaya yang semakin terkikis
National Geographic Indonesia, bekerja sama dengan Yayasan Kehati (KEHATI), menggelar seminar perdana Forum Bumi pada Kamis, 8 Agustus 2024, di House of Izara, Jakarta Selatan. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para jurnalis serta aktivis lingkungan dalam isu konservasi. Dengan tajuk, Apa yang Terjadi Bila Keanekaragaman Hayati Kita Punah, seminar ini menghadirkan diskusi terkait ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan langkah-langkah penyelamatan yang diperlukan.
Pada 10 Oktober 2024, National Geographic Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Kehati (KEHATI) kembali menyelenggarakan Forum Bumi di House of Izara, Jakarta Selatan. Forum ini mengusung tema Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia? Forum Bumi Kedua ini menyoroti pentingnya diversifikasi pangan guna mengurangi ketergantungan pada beras dan terigu.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR