Selain itu, diversifikasi pangan juga perlu diperhatikan. Banyak hidangan Indonesia yang minim tepung terigu dan beras, seperti aneka rebusan singkong, ubi, atau kacang tanah, tanpa harus merujuk pada rebusan edamame ataupun susu almon. Juga ada bubur kacang hijau, bubur ketan hitam, dan wedang kembang tahu yang terbuat dari kacang-kacangan.
Ada pula perkedel kentang dan kroket untuk makanan berbahan dasar kentang. Juga ada misro dan combro, serta getuk untuk makanan berbahan dasar singkong. Ada kluwo dan bubur Manado yang berbahan dasar ubi.
Alternatif makanan minim nasi juga melimpah, seperti selat Solo,sosis Solo, gadon daging, ayam kodok (ayam isi), sup matahari, pecel, gado-gado, ketoprak, lotis, rujak cingur, asinan Bogor dan masih banyak lagi. Namun, makanan-makanan ini sering kali diabaikan dalam program diversifikasi pangan yang sayangnya kerap terjebak dalam mengolah produk alternatif menjadi nuget atau keripik.
Menghidupkan kembali pangan lokal berarti menggiatkan kembali aktivitas kembali ke dapur. Maka penting pula menyosialisasikan tentang resep-resep makanan khas Indonesia.
Ini tentang membangun kesadaran akan nilai dan kekayaan masakan Indonesia. Melalui masakan sendiri, para orangtua dapat mengajarkan anak-anak mengenal ikan lele, gurami, atau ikan mas, sama pentingnya dengan memperkenalkan mereka pada makanan kekinian semacam salmon, dori, dan shishamo.
Dengan mengubah cara pandang terhadap masakan tradisional dan memperluas akses ke pangan lokal, kita dapat menjadikan makanan Indonesia sebagai pilihan utama di meja makan, sebagai hidangan kaya rasa dan kaya gizi.
Tanpa menggiatkan kembali keterampilan memasak sendiri, program ketahanan pangan dan diversifikasi pangan akan menjadi program yang berjalan di tempat. Kita harus mulai menciptakan kebanggaan baru terhadap masakan Indonesia dan menjaga warisan kuliner agar tidak hilang ditelan tren.
Kisah ini terpilih sebagai Juara Kedua Kompetisi Menulis Forum Bumi-2: Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia? Kolaborasi National Geographic Indonesia dan Yayasan KEHATI.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR