Salah satu penyebab potensial adalah berat bangunan itu sendiri. Namun, efeknya sulit diukur, karena tidak selalu jelas jenis fondasi atau tanah tempat bangunan tersebut berada. Studi menunjukkan bahwa gedung-gedung tinggi di atas 120 m hanya menyebabkan penurunan tanah beberapa milimeter, paling banyak, setiap tahun. Studi yang dilakukan di Rotterdam itu bertajuk Subsiding Soils, Rising Costs.
Tim Wei mencoba memodelkan kontribusi yang diberikan semua gedung di New York terhadap penurunan tanah. Hasilnya tampaknya melebih-lebihkan kenyataan.
Hal ini mungkin karena sebagian besar efek penurunan tanah yang dialami gedung terjadi saat awalnya 'mengendap'. Sehingga tidak akan terlihat pada bangunan-bangunan tua seperti di New York.
Sebaliknya, Lagmay berpendapat bahwa penurunan tanah di Manila terutama disebabkan oleh pemompaan air tanah yang berlebihan. Aktivitas itu menguras dan melemahkan tanah.
“Kita melihat gambar-gambar di mana terdapat penurunan tanah dalam jumlah terbesar. Gambar itu menunjukkan kompleks industri dan komersial,” kata Lagmay. Ia menambahkan bahwa ada undang-undang untuk mencegah ekstraksi yang tidak berkelanjutan. Sayangnya, untuk menegakkan undang-undang itu merupakan masalah lain yang harus ditangani.
Ekstraksi air tanah juga disalahkan atas tenggelamnya kota-kota di Tiongkok. Menurut Wei, itu adalah “alasan paling umum” di balik masalah tenggelamnya kota secara global. Di beberapa kota, sumur ilegal menjadi masalah, seperti di Jakarta, yang secara historis kekurangan air ledeng.
Dapatkah ekstrasi air tanah dihentikan?
Beberapa kota telah berhasil memperlambat tenggelamnya kota dengan mengendalikan ekstraksi air tanah. Misalnya Tokyo di Jepang dan Houston di Texas telah melihat berbagai tingkat keberhasilan dengan memperketat peraturan air. Jakarta pun melakukan hal yang sama. Antara tahun 2015 dan 2020, laju tenggelamnya kota Jakarta yang dulunya cepat melambat menjadi 3 sentimeter per tahun, dikutip dari Science Focus.
Di Manila, dewan air telah melarang penggalian sumur dalam. Sementara itu, pasokan air alternatif membantu mengurangi pemompaan dari sumur yang bertanggung jawab atas penurunan tanah setempat.
Namun, di daerah yang sudah terendam banjir, orang-orang mulai menerima bahwa satu-satunya solusi adalah relokasi. Misalnya di Desa Sitio Pariahan di utara Manila
Apakah Manila dapat bangkit kembali akan bergantung pada kondisi akuifer kota (batuan yang mengandung air di bawah tanah), kata Lagmay. Pertanyaannya adalah apakah akuifer tersebut telah runtuh hingga melewati titik yang tidak dapat dikembalikan. “Perlu ada lebih banyak penelitian,” aku Lagmay.
“Namun, jika Anda merawatnya, memantaunya, dan tidak mengekstraksi secara berlebihan, mungkin akuifer dapat kembali ke kondisi semula.”
Source | : | Science Focus |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR