Nationalgeographic.co.id—Dari Jakarta sampai New York, pusat-pusat kota di dunia mengalami penurunan tanah dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Hal ini bukan semata-mata disebabkan oleh naiknya permukaan air laut. Jadi, apa yang harus disalahkan?
Di wilayah padat penduduk di utara Manila, banjir merupakan hal yang biasa. Bahkan, kendaraan jeepney kini terbuat dari baja tahan karat untuk mencegah korosi oleh air laut. Jalan-jalan juga telah berulang kali ditinggikan. Sebagian jalan kini lebih tinggi dari pintu-pintu rumah penduduk.
“Mereka terus membuat jalan semakin tinggi. Tapi saya tidak tahu bagaimana mereka dapat mempertahankannya,” kata Dr. Mahar Lagmay, direktur eksekutif University of the Philippines Resilience Institute. Perjuangan untuk tetap berada di atas air bukan hanya akibat naiknya permukaan air laut. Namun hal itu lebih berkaitan dengan turunnya permukaan tanah.
Lagmay dan timnya melakukan pengamatan terkait turunnya permukaan tanah. Studinya menunjukkan bahwa antara tahun 2014 dan 2020, sebagian wilayah Metro Manila tenggelam hingga 10,6 sentimeter per tahun. Nilai itu 24 kali lipat dari rata-rata kenaikan permukaan air laut global, yaitu 0,44 sentimeter per tahun.
Menurut Lagmay, penurunan cepat wilayah itu pertama kali terlihat pada akhir tahun 1990-an. Saat itu para ilmuwan memetakan data dari pengukur pasang surut. Mereka menemukan bahwa permukaan air yang mereka catat tidak dapat dijelaskan hanya oleh perubahan iklim.
“Terlalu berlebihan jika kenaikan permukaan air laut dianggap sebagai penyebabnya,” kata Lagmay. Selama bertahun-tahun, situasi tersebut menjadi tidak dapat dipertahankan bagi masyarakat pesisir di beberapa bagian Teluk Manila. Banjir membuat setengah rumah terendam air dan petani padi beralih ke perikanan.
Kota-kota di dunia yang jadi korban “penurunan besar”
Manila bukanlah satu-satunya daerah perkotaan yang terkena dampak. Tingkat penurunan yang mengkhawatirkan bukanlah hal yang baru. Hal ini diungkapkan oleh pakar penurunan permukaan tanah Dr. Matt Wei dari Universitas Rhode Island. Wei telah mempelajari kota-kota yang tenggelam dalam skala global.
Tempat-tempat di seluruh dunia menjadi korban "penurunan besar". Jakarta di Indonesia mungkin adalah contoh utama. Tingkat penurunan permukaan tanah historis yang pernah dilaporkan mencapai 25 sentimeter per tahun di beberapa daerah. Yang mengkhawatirkan, catat Wei, penurunan permukaan tanah tidak selalu diperhitungkan dalam model yang digunakan untuk memprediksi banjir.
Seberapa besar penurunan permukaan tanah?
Saat ini, pengukuran penurunan permukaan tanah tidak lagi dilakukan dengan pengukur pasang surut. Lagmay, Wei, dan peneliti lain dapat membuat estimasi yang jauh lebih akurat menggunakan data satelit.
Baca Juga: Banjir Jawa: Penurunan Tanah Jakarta, Pekalongan, Semarang Mengerikan
Ilmuwan juga bisa mendapatkan gambaran terperinci tentang pergerakan vertikal di seluruh permukaan tanah dengan teknik khusus. Teknik itu disebut Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR). InSAR menggunakan pantulan sinyal radar untuk menghitung pergerakan ke bawah dari waktu ke waktu.
NASA dan Badan Antariksa Eropa menyediakan data InSAR secara terbuka, yang menguntungkan negara-negara berkembang seperti Filipina. “Hal ini hanya masalah menggunakan data yang tersedia untuk semua orang,” kata Lagmay.
“Anda dapat menggunakannya sebagai alat pemantauan untuk mengidentifikasi tempat-tempat di kota metropolitan yang mengalami penurunan tanah. Serta memfokuskan perhatian Anda pada tempat-tempat tersebut.”
Dalam makalah tahun 2022, Wei dan timnya menggabungkan data GNSS dan InSAR. Tujuannya untuk mempelajari penurunan tanah di kota-kota pesisir secara global. Makalah itu bertajuk Subsidence in Coastal Cities Throughout the World Observed by InSAR. Hasilnya, dari 99 kota yang mereka amati, tepat sepertiganya mengalami penurunan tanah. Dan di beberapa bagian, setidaknya lima kali lebih cepat daripada kenaikan permukaan laut.
Banyak kota dengan tingkat penurunan tanah yang tinggi berada di Asia. Seperti Mumbai yang berpenduduk padat di India serta Chittagong di Bangladesh (keduanya 2 sentimeter per tahun). Dan juga Karachi di Pakistan (1 sentimeter per tahun).
Data satelit menunjukkan sekitar 67 juta orang di Tiongkok tinggal di perkotaan yang mengalami penurunan tanah lebih cepat dari 1 sentimeter per tahun. Data itu diungkap dalam studi yang bertajuk A Third of China’s Urban Population at Risk of City Sinking, New Satellite Data Shows.
Bahkan kota-kota terkaya dan ternama di dunia pun tidak kebal terhadap penurunan tanah yang besar. Upaya Venesia untuk menghentikan hilangnya piazza dan arsitektur gotiknya di bawah Laut Adriatik telah dipublikasikan.
Namun, mungkin lebih sedikit yang menyadari bahwa New York terletak sedikit di atas permukaan laut. Kota itu juga mengalami penurunan tanah, meskipun hanya 0,1 hingga 0,2 sentimeter setiap tahun.
Apa penyebabnya penurunan permukaan tanah di kota-kota besar?
Dalam kasus New York, penurunan permukaan tanah sebagian merupakan konsekuensi dari pemulihan pasca-glasial. Proses alami ini menyebabkan tanah di bawah gletser yang mencair terangkat saat muncul dari bawah beban es. Sementara itu, daerah di dekatnya secara bersamaan mengalami penurunan.
Sekitar 20.000 tahun yang lalu, New York berada di dekat tepi gletser. Ketika gletser menghilang, wilayah tempat gletser itu dulu berada mulai terangkat. Sementara tepinya tenggelam.
Mengenai Metro Manila, proses alami lainnya mungkin sedang terjadi. Sebuah gunung berapi aktif sedang mendidih hanya 50 km jauhnya. Dan garis patahan gempa bumi membentang dari utara ke selatan melalui area tersebut. Lagmay mengakui bahwa retakan dan penurunan dapat terlihat pada bangunan di sepanjang garis patahan. Tapi ia percaya bahwa tenggelamnya gletser lebih erat kaitannya dengan aktivitas manusia.
Salah satu penyebab potensial adalah berat bangunan itu sendiri. Namun, efeknya sulit diukur, karena tidak selalu jelas jenis fondasi atau tanah tempat bangunan tersebut berada. Studi menunjukkan bahwa gedung-gedung tinggi di atas 120 m hanya menyebabkan penurunan tanah beberapa milimeter, paling banyak, setiap tahun. Studi yang dilakukan di Rotterdam itu bertajuk Subsiding Soils, Rising Costs.
Tim Wei mencoba memodelkan kontribusi yang diberikan semua gedung di New York terhadap penurunan tanah. Hasilnya tampaknya melebih-lebihkan kenyataan.
Hal ini mungkin karena sebagian besar efek penurunan tanah yang dialami gedung terjadi saat awalnya 'mengendap'. Sehingga tidak akan terlihat pada bangunan-bangunan tua seperti di New York.
Sebaliknya, Lagmay berpendapat bahwa penurunan tanah di Manila terutama disebabkan oleh pemompaan air tanah yang berlebihan. Aktivitas itu menguras dan melemahkan tanah.
“Kita melihat gambar-gambar di mana terdapat penurunan tanah dalam jumlah terbesar. Gambar itu menunjukkan kompleks industri dan komersial,” kata Lagmay. Ia menambahkan bahwa ada undang-undang untuk mencegah ekstraksi yang tidak berkelanjutan. Sayangnya, untuk menegakkan undang-undang itu merupakan masalah lain yang harus ditangani.
Ekstraksi air tanah juga disalahkan atas tenggelamnya kota-kota di Tiongkok. Menurut Wei, itu adalah “alasan paling umum” di balik masalah tenggelamnya kota secara global. Di beberapa kota, sumur ilegal menjadi masalah, seperti di Jakarta, yang secara historis kekurangan air ledeng.
Dapatkah ekstrasi air tanah dihentikan?
Beberapa kota telah berhasil memperlambat tenggelamnya kota dengan mengendalikan ekstraksi air tanah. Misalnya Tokyo di Jepang dan Houston di Texas telah melihat berbagai tingkat keberhasilan dengan memperketat peraturan air. Jakarta pun melakukan hal yang sama. Antara tahun 2015 dan 2020, laju tenggelamnya kota Jakarta yang dulunya cepat melambat menjadi 3 sentimeter per tahun, dikutip dari Science Focus.
Di Manila, dewan air telah melarang penggalian sumur dalam. Sementara itu, pasokan air alternatif membantu mengurangi pemompaan dari sumur yang bertanggung jawab atas penurunan tanah setempat.
Namun, di daerah yang sudah terendam banjir, orang-orang mulai menerima bahwa satu-satunya solusi adalah relokasi. Misalnya di Desa Sitio Pariahan di utara Manila
Apakah Manila dapat bangkit kembali akan bergantung pada kondisi akuifer kota (batuan yang mengandung air di bawah tanah), kata Lagmay. Pertanyaannya adalah apakah akuifer tersebut telah runtuh hingga melewati titik yang tidak dapat dikembalikan. “Perlu ada lebih banyak penelitian,” aku Lagmay.
“Namun, jika Anda merawatnya, memantaunya, dan tidak mengekstraksi secara berlebihan, mungkin akuifer dapat kembali ke kondisi semula.”
Source | : | Science Focus |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR