Nationalgeographic.co.id—Pada November 2024, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mengadopsi aturan baru yang lebih ketat melalui proses konsultasi yang panjang dan pemungutan suara oleh seluruh anggota RSPO dalam konferensi tahunan mereka di Bangkok.
RSPO, sebuah organisasi yang didirikan pada tahun 2004 oleh gabungan LSM lingkungan seperti WWF dan perusahaan-perusahaan besar dalam rantai pasok minyak sawit, telah menjadi tolok ukur global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.
Sistem sertifikasi RSPO telah berhasil mencakup sekitar 20% dari pasar minyak sawit dunia, menjadikannya salah satu sertifikasi paling berpengaruh di sektor ini.
Aturan-aturan yang ditetapkan oleh RSPO mencakup berbagai aspek, mulai dari perlindungan lingkungan hingga hak-hak sosial.
Perusahaan yang ingin mendapatkan sertifikasi RSPO wajib memenuhi sejumlah kriteria ketat, seperti mencegah deforestasi, membatasi penggunaan pestisida berbahaya, dan menghormati hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, serta pekerja.
Perubahan paling mencolok dalam aturan terbaru ini adalah penekanan yang lebih kuat pada hak asasi manusia. Perusahaan kini diwajibkan untuk melakukan identifikasi yang cermat terhadap potensi dampak negatif terhadap hak asasi manusia dalam seluruh operasi mereka, baik secara langsung maupun melalui pemasok.
Selain itu, standar untuk petani kecil (dengan luas tanamnya kurang dari 50 hektar), yang merupakan sekitar 40% dari total pemasok minyak sawit dunia, juga telah diperkuat. Tujuannya adalah untuk memudahkan petani kecil mendapatkan sertifikasi RSPO dan membuka akses ke pasar yang lebih luas.
Dalam upaya mengatasi tantangan perubahan iklim dan kelangkaan air, perusahaan pengolahan minyak sawit dan petani kini diwajibkan untuk melaporkan secara detail konsumsi dan pengelolaan air mereka.
"Selain itu, daftar pestisida terbatas telah diperluas untuk mencakup pestisida yang membahayakan kesehatan manusia, selain pestisida yang telah dibatasi sebelumnya karena dampak lingkungannya," jelas Catherine Early di laman Dialogue Earth.
Perubahan definisi deforestasi
Namun, organisasi lingkungan terkemuka seperti Greenpeace dan Rainforest Action Network (RAN) telah menyuarakan keprihatinan bahwa revisi terbaru terhadap standar RSPO telah melemahkan perlindungan terhadap hutan, khususnya hutan dengan stok karbon tinggi (HCS).
Baca Juga: Antara Kelapa Sawit dan Hutan: Intensifikasi dan Upaya Kembali ke Multikultur
Ketika standar RSPO diperbarui pada tahun 2018, perubahan tersebut disambut positif oleh para aktivis lingkungan karena memperkuat komitmen RSPO terhadap pelestarian hutan.
Standar 2018 melarang penanaman kelapa sawit di hutan primer dan sekunder, serta di lahan gambut tanpa memperhatikan kedalamannya. Larangan ini dianggap sebagai langkah signifikan dalam mencegah deforestasi yang terkait dengan industri kelapa sawit.
Namun, dalam revisi terbaru yang berlaku pada tahun 2024, RSPO telah mengubah definisi hutan HCS. Hutan HCS adalah hutan alami yang memiliki nilai konservasi tinggi karena menyimpan sejumlah besar karbon.
Sebelumnya, identifikasi hutan HCS mengacu pada metodologi yang dikenal sebagai "Toolkit Pendekatan Stok Karbon Tinggi (HCSA)", yang dianggap sebagai praktik terbaik oleh banyak ilmuwan dan aktivis.
Toolkit ini menyediakan pedoman yang jelas dan praktis untuk membedakan antara hutan alami yang layak dilindungi dan lahan yang telah terdegradasi sehingga cocok untuk pengembangan.
Sayangnya, standar 2024 telah menghapus rujukan terhadap toolkit HCSA dan mengadopsi definisi hutan HCS yang baru.
Lebih detail, definisi terbaru menyebutkan, "Hutan dengan simpanan karbon di atas dan di bawah tanah, di mana hilangnya karbon yang tersimpan akibat perubahan penggunaan lahan lebih besar daripada potensi peningkatan stok karbon dalam kawasan pengembangan baru selama periode satu siklus penanaman."
Greenpeace dan RAN khawatir bahwa perubahan definisi hutan HCS ini akan membuka celah bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk mengkonversi hutan HCS menjadi perkebunan, dengan alasan bahwa hutan tersebut tidak lagi memenuhi kriteria yang ketat untuk perlindungan.
Gemma Tillack, Direktur Kebijakan Hutan RAN, menganggap dengan adanya penghapusan rujukan terhadap toolkit HCSA, kini perusahaan perkebunan kelapa sawit memiliki keleluasaan lebih besar untuk menebang hutan alam, termasuk hutan dengan HCS, guna membuka lahan baru lewat standar "tanpa deforestasi" yang mereka tetapkan sendiri.
"RSPO kini telah melemahkan standarnya dengan menghapus batas waktu deforestasi yang definitif, dan mengganti definisi kredibel yang digunakan untuk menerapkan praktik tanpa deforestasi dengan definisi cacat ciptaannya sendiri," ujar Tillack.
Baca Juga: Antara Kelapa Sawit dan Hutan: Mencari Titik Tengah yang Lestari
Senada dengan Tillack, Grant Rosoman, seorang spesialis hutan Greenpeace, memberikan pandangan kritis terhadap revisi definisi hutan HCS dalam standar RSPO.
"Definisi hutan HCS RSPO yang telah direvisi kini pada dasarnya ditentukan oleh berapa banyak karbon yang disequester oleh perkebunan kelapa sawit selama masa hidupnya (25 tahun), atau perhitungan karbon sederhana, daripada melihat atribut ekosistem hutan yang membuatnya dikategorikan sebagai HCS, seperti tinggi kanopi, komposisi spesies, dan kepadatan vegetasi, sebagaimana ditetapkan oleh HCSA," jelasnya.
Greenpeace juga menyuarakan keprihatinan atas ketidakjelasan batas waktu untuk menghentikan deforestasi dalam industri kelapa sawit. Standar RSPO yang direvisi hanya mensyaratkan perusahaan untuk mengkompensasi deforestasi yang terjadi setelah November 2018 melalui mekanisme remediasi dan kompensasi yang dinilai kurang efektif.
"Ini adalah sistem kompensasi yang sangat lemah," jelas Rosoman, "sampai-sampai mungkin lebih menguntungkan bagi sebuah perusahaan untuk melakukan deforestasi, mendirikan perkebunan kelapa sawit, dan kemudian melakukan sedikit restorasi setelahnya, karena mereka akan mendapatkan keuntungan dari perkebunan tersebut."
Dibantah, tapi tetap tak mudah
RSPO sendiri, tentu saja, membantah bahwa standar baru yang mereka susun telah melemahkan berbagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap hutan.
Dalam sebuah korespondensi resmi dengan Dialogue Earth, RSPO menyatakan bahwa sejak awal peninjauan pada 2023, RSPO telah secara transparan mengomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan yang terlibat bahwa meskipun mandat untuk proses revisi adalah untuk memastikan auditabilitas dan keterlaksanaan yang lebih besar.
"Tidak akan ada penurunan Standar RSPO relatif terhadap versi kami yang ada," lanjut mereka, semua revisi dan iterasi telah dikembangkan dengan pemahaman ini.”
Yen Hun Sung, direktur standar dan keberlanjutan RSPO, menegaskan bahwa secara substansial tidak ada perubahan signifikan dalam kriteria terkait penebangan hutan dan deforestasi. "Kami masih melestarikan hutan HCS. Yang berubah adalah cara penyusunannya," tuturnya.
Menurut Hun Sung, indikator dalam standar 2018 kurang menguraikan setiap langkah-langkahnya. Hal inilah yang coba diatasi melalui standar baru. "Kami mencoba untuk menyelaraskannya dengan semua prosedur lain dengan cara yang membuatnya lebih mudah untuk diterapkan, terutama bagi petani baru," ungkapnya.
RSPO juga mengakui bahwa implementasi standar sebelumnya, menghadapi beberapa tantangan, terutama di negara-negara dengan industri minyak sawit yang masih berkembang dan memiliki tutupan hutan yang luas.
Baca Juga: Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia: Hampir Berakhir Sebagai Tanaman Hias
Untuk mengatasi hal ini, RSPO telah membentuk sebuah kelompok kerja khusus yang bertugas mengembangkan prosedur penilaian HCS yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kondisi di negara-negara tersebut.
Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan antara ambisi pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
"Enam tahun telah berlalu dan itu belum terjadi. Kami memiliki niat yang sangat baik pada tahun 2018, tetapi kami belum menyelesaikan masalah implementasi," kata Hun Sung.
"Ini sebagian besar mencerminkan keseluruhan standar ini: 2018 merupakan langkah maju yang besar, tetapi 2024 adalah sebuah evolusi. Ini memperkenalkan beberapa elemen baru, tetapi juga berfokus pada implementasi."
Selain itu, RSPO juga sedang mengembangkan sebuah sistem pelacakan digital bernama Prisma. Sistem ini akan memungkinkan anggota RSPO untuk melacak dan mencatat data geografis dari setiap tahapan produksi minyak sawit.
Dengan adanya sistem pelacakan digital ini, diharapkan kepatuhan terhadap standar RSPO dan peraturan terkait deforestasi di Uni Eropa (EUDR) dapat lebih mudah dipantau dan ditegakkan.
Kamal Seth, pemimpin minyak sawit global di WWF (LSM lingkungan ini adalah anggota kelompok pengarah peninjauan standar RSPO), memberikan penjelasan mengenai perubahan ini.
Ia menegaskan bahwa konsep High Conservation Value (HCV) atau nilai konservasi tinggi masih menjadi bagian penting dalam standar yang baru. Meskipun ada revisi, tenggat waktu untuk memenuhi standar tersebut tetap sama.
Seth juga menekankan pentingnya kolaborasi antara RSPO dengan jaringan HCV dan organisasi serupa lainnya, "Untuk memperkuat sistem yang relevan untuk memasyarakatkan minyak sawit berkelanjutan, dan untuk mendukung persyaratan peraturan seperti EUDR."
RSPO sendiri telah memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai definisi HCV yang baru. Mereka menyatakan bahwa definisi ini telah direvisi secara eksplisit merujuk pada manual yang digunakan oleh auditor perkebunan bersertifikat RSPO, yang menggabungkan toolkit tersebut.
Namun, menurut Rosoman, adanya perbedaan antara definisi HCV yang baru dengan manual yang digunakan oleh auditor justru akan menimbulkan kebingungan dan celah bagi perusahaan untuk menghindari kewajiban mereka dalam melindungi hutan HCV.
Rosoman juga menyoroti adanya tren penurunan jumlah perusahaan minyak sawit yang menjadi anggota HCSA, sebuah inisiatif yang bertujuan untuk melindungi hutan dengan karbon tinggi.
Perusahaan-perusahaan besar seperti Golden Agri-Resources dan IOI Corporation Berhad telah memutuskan untuk keluar dari HCSA.
Menurut Rosoman, hal ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan minyak sawit semakin mengurangi komitmen mereka terhadap pelestarian hutan.
"Indikasinya adalah bahwa mereka menarik diri dari menjadi anggota HCSA, dan sekarang mereka menghapus definisi dari standar RSPO, jadi ini adalah erosi bertahap dari komitmen mereka untuk itu," pungkas Rosoman.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR