Senada dengan Tillack, Grant Rosoman, seorang spesialis hutan Greenpeace, memberikan pandangan kritis terhadap revisi definisi hutan HCS dalam standar RSPO.
"Definisi hutan HCS RSPO yang telah direvisi kini pada dasarnya ditentukan oleh berapa banyak karbon yang disequester oleh perkebunan kelapa sawit selama masa hidupnya (25 tahun), atau perhitungan karbon sederhana, daripada melihat atribut ekosistem hutan yang membuatnya dikategorikan sebagai HCS, seperti tinggi kanopi, komposisi spesies, dan kepadatan vegetasi, sebagaimana ditetapkan oleh HCSA," jelasnya.
Greenpeace juga menyuarakan keprihatinan atas ketidakjelasan batas waktu untuk menghentikan deforestasi dalam industri kelapa sawit. Standar RSPO yang direvisi hanya mensyaratkan perusahaan untuk mengkompensasi deforestasi yang terjadi setelah November 2018 melalui mekanisme remediasi dan kompensasi yang dinilai kurang efektif.
"Ini adalah sistem kompensasi yang sangat lemah," jelas Rosoman, "sampai-sampai mungkin lebih menguntungkan bagi sebuah perusahaan untuk melakukan deforestasi, mendirikan perkebunan kelapa sawit, dan kemudian melakukan sedikit restorasi setelahnya, karena mereka akan mendapatkan keuntungan dari perkebunan tersebut."
Dibantah, tapi tetap tak mudah
RSPO sendiri, tentu saja, membantah bahwa standar baru yang mereka susun telah melemahkan berbagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap hutan.
Dalam sebuah korespondensi resmi dengan Dialogue Earth, RSPO menyatakan bahwa sejak awal peninjauan pada 2023, RSPO telah secara transparan mengomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan yang terlibat bahwa meskipun mandat untuk proses revisi adalah untuk memastikan auditabilitas dan keterlaksanaan yang lebih besar.
"Tidak akan ada penurunan Standar RSPO relatif terhadap versi kami yang ada," lanjut mereka, semua revisi dan iterasi telah dikembangkan dengan pemahaman ini.”
Yen Hun Sung, direktur standar dan keberlanjutan RSPO, menegaskan bahwa secara substansial tidak ada perubahan signifikan dalam kriteria terkait penebangan hutan dan deforestasi. "Kami masih melestarikan hutan HCS. Yang berubah adalah cara penyusunannya," tuturnya.
Menurut Hun Sung, indikator dalam standar 2018 kurang menguraikan setiap langkah-langkahnya. Hal inilah yang coba diatasi melalui standar baru. "Kami mencoba untuk menyelaraskannya dengan semua prosedur lain dengan cara yang membuatnya lebih mudah untuk diterapkan, terutama bagi petani baru," ungkapnya.
RSPO juga mengakui bahwa implementasi standar sebelumnya, menghadapi beberapa tantangan, terutama di negara-negara dengan industri minyak sawit yang masih berkembang dan memiliki tutupan hutan yang luas.
Baca Juga: Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia: Hampir Berakhir Sebagai Tanaman Hias
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR