Nationalgeographic.co.id—Mungkin Anda tidak asing dengan stereotipe yang tampaknya selalu menjadi bahan perdebatan, ‘wanita lebih mengandalkan perasaan dibandingkan pria’ atau seperti ini ‘pria berpikir menggunakan logikanya daripada wanita’ mestilah pernah, bukan?
Ternyata, hal ini sudah terjadi sejak dulu! Tampaknya mengkotak-kotakan ‘wanita itu begini’, ‘pria itu begitu’ telah terjadi bahkan sebelum Anda belum hadir ke dunia. Membicarakan logika, pria mungkin lebih pandai. Salah satu studi mengungkapkan bahwa konsep maskulinitas pada pria menuntut mereka untuk bisa berpikir logis. Dengan begitu, mereka bisa lebih mengendalikan diri dan perasaanya, terutama di publik.
Disebutkan bahwa di Yunani-Romawi abad pertama, mereka mempercayai stoa. Yakni menekankan bahwa pria harus mengendalikan dirinya di segala keadaan, salah satunya di saat marah. Mereka percaya apabila, “Kemarahan adalah kelemahan paling feminim dan kekanak-kanakan.”
Namun, pernahkah Anda mendengar ungkapan ‘men are from mars, women are from venus’? Ungkapan tersebut pertama kali dipopulerkan tahun 1992 melalui buku John Gray dengan judul yang sama. John Gray, seorang konsultan hubungan di Amerika sekaligus penulis dan dosen yang fokus di bidang komunikasi.
Di dalam bukunya, “Men are from Mars, Women are from Venus”, ia menyebutkan bahwa pria cenderung dominan menggunakan otak kirinya sehingga lebih bisa berpikir secara logis. Dengan begitu, pria lebih fokus memecahkan masalah dan mengambil keputusan atau bertindak berdasarkan fakta yang dilihatnya. Berbanding dengan wanita yang otaknya bekerja secara seimbang, sehingga lebih baik melakukan sesuatu secara multitasking dan memahami emosi atau perasaan lawan bicaranya.
“Laki-laki pergi ke gua sendirian untuk menyelesaikan masalahnya. Perempuan membicarakan masalahnya agar merasa lebih baik.” ungkap John Gray. Ini menegaskan bahwa ketika berada di situasi dan kondisi yang sama, pria dan wanita akan bertindak secara berbeda. Ini disebabkan karena di dalam otak, terdapat perbedaan sinapsis antara wanita dan pria. Sinapsis merupakan saraf yang bekerja memroses komunikasi di alam otak.
Tanpa disadari, pria dan wanita memang memiliki pola pikir yang berbeda, baik di dalam melihat sesuatu atau ketika berada di situasi yang sama. “Wanita lebih ekspresif dan detail dalam komunikasi. Mereka lebih suka berbicara tentang perasaan dan pandangan mereka. Sedangkan pria cenderung lebih langsung dan to the point dalam komunikasi. Mereka lebih suka berbicara tentang fakta dan solusi.” tulis John Gray.
Seiring dengan itu, Zeenat Zaidi dalam kajiannya bertajuk, “Gender differences in human brain: a review” menyebutkan hasil studi literaturnya, bahwa area broca di dalam otak, yakni bagian yang bekerja memproses bahasa, pada wanita lebih besar 23 persen dibandingkan dengan pria. Itulah mengapa perempuan lebih sering disandingkan dengan kata ‘cerewet’, karena mereka memproses bahasa lebih banyak sehingga terkesan banyak bicara.
Dominan menggunakan otak sebelah kiri membuat pria lebih sulit mengungkapkan perasaannya. Sehingga ketika dalam suatu hubungan, wanita akan mencurahkan perasaan emosionalnya, karena lebih memilih untuk berbagi perasaan dan didengarkan. Berbanding dengan pria yang lebih fokus pada tindakan dan solusinya ketika hubungan bermasalah.
“Pria dan wanita tidak hanya berbeda tampilan fisik dan reproduksinya, melainkan karakteristik seperti proses pembelajaran, perkembangan bahasa, dan cara mereka memecahkan masalah juga.” ungkap Zeenat. Dia menambahkan, perbedaan fungsi kognitif dan struktur otak antara wanita dan pria menunjukkan kapasitas yang berbeda namun tidak terkait dengan perbedaan tingkat kecerdasan umum.
Di dalam jurnalnya, Zeenat menyebutkan studi yang mengungkapkan bahwa pria lebih agresif daripada wanita. Di masa kanak-kanak misalnya, anak laki-laki akan cenderung bermain ‘kasar’ dibandingkan anak perempuan yang bermain yang feminim atau cenderung keibuan.
Baca Juga: Penilaian Stereotip Gender Halangi Penyelesaian Kesehatan Mental Murid
Sadar atau tidak, hal tersebut tercermin dalam bentuk mainan anak-anak. Permainan pedang-pedangan? Pistol-pistolan? Tentu saja itu dimainkan oleh anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan mestilah boneka dan ‘permainan perempuan’ lainnya,
“Menurut teori empati-sistemisasi, otak wanita sebagian besar tertanam untuk empati, sedangkan otak pria sebagian besar tertanam untuk memahami dan membangun sistem.” tulis Zeenat. Memperhatikan perasaan sudah naluri alamiah wanita, itulah kenapa empat, keterampilan verbal, dan keterampilan sosial lebih tinggi pada wanita. Sementara pria akan lebih unggul dalam hal kemandirian, dominasi, serta keterampilan spasial dan matematika.
Pernah mendengar celetukan bahwa wanita tidak pandai membaca peta? Tidak salah loh! Pria dominan menggunakan bagian otak hippocampus sebelah kiri. Itulah sebabnya, pria umumnya lebih baik dalam keterampilan spasial seperti navigasi arah, karena pria menggunakan konsep abstrak seperti utara dan selatan atau jarak tempuh dalam menentukan arah. Sedangkan wanita akan fokus pada tanda-tanda atau landmark yang mereka lihat dan ingat sepanjang perjalanan karena otak bagian korteks serebral yang bekerja.
“Otak pria dan wanita menunjukkan perbedaan, mulai dari anatomis dan fungsional di semua tahap kehidupan. Perbedaan ini dimulai sejak dini selama perkembangan masih berlanjut hingga sepanjang hidup.” Simpul Zeenat dalam tulisannya.
Selaras dengan studi hasil literatur Zeenat. Kajian lainnya yang terbit dalam Jurnal Filsafat Indonesia, membahas tentang perkembangan otak pria dan wanita dimulai dari masa kanak-kanak.
Studi berjudul, “Perbedaan Struktur Otak dan Perilaku Belajar Antara Pria dan Wanita; Eksplanasi dalam Sudut Pandang Neurosains dan Filsafat” oleh M. Syahruddin Amin, menjabarkan bahwa perkembangan otak antara pria dan wanita diiringi dengan perkembangan hormon. Misalnya pada laki-laki yang didominasi oleh hormon testosteron, membuat mereka senang menghadapi tantangan, bersaing, beradu opini dan konsep dengan lawan bicara.
“Berbeda pula dengan wanita yang didominasi hormon estrogen dan progesteron, membuat wanita lebih menyukai kedamaian, kesantaian, dan sejenisnya,“ tulis Syahruddin. Dia menambahkan bahwa dalam proses belajar siswa perempuan akan cenderung menyukai belajar yang berbasis komunikasi seperti berbicara, menulis, atau diskusi. Sedangkan anak laki-laki akan lebih senang belajar dengan konsep terjun ke lapangan seperti praktikum, atau aktifitas hands-on, tidak hanya dengan membaca atau berdiskusi seperti anak perempuan.
Berhubungan dengan proses komunikasi dan mengolah bahasa, faktanya pria hanya membutuhkan sekitar tujuh ribu kata setiap harinya untuk berbicara, namun wanita memerlukan setidaknya 20 ribu kata setiap harinya! Angka yang cocok untuk pendukung argumen kenapa wanita selalu cerewet.
Tampaknya, perbedaan antara wanita dan pria tidak akan pernah habis menjadi bahan perbincangan. Perbedaan ini menjadi suatu hal yang melengkapi satu sama lain, layaknya hitam dan putih, sejatinya perbedaan ini membuat manusia belajar untuk tumbuh dan saling memahami.
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR