Nationalgeographic.co.id—Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat penggundulan hutan tertinggi di dunia. Persisnya tertinggi kedua setelah Brasil.
Negara kepulauan ini kehilangan rata-rata 820.000 hektare hutan tropis setiap tahunnya antara tahun 2000 dan 2010. Itu berarti ada hutan Indonesia yang luasnya lebih dari luas wilayah DKI Jakarta mengalami deforestasi setiap tahunnya.
Peran pasti minyak kelapa sawit dalam penggundulan hutan ini sulit diukur. Namun diperkirakan bahwa perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas 11 hingga 16 persen dari hilangnya hutan Indonesia dalam dua dekade terakhir.
Produsen minyak kelapa sawit menebang hutan hujan tropis, sering kali menggunakan keuntungan dari penebangan di area tersebut untuk menutupi biaya awal pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Perkebunan kelapa sawit saat ini mencakup sekitar 4,1 juta hektare lahan di Indonesia, dan Koh dan Wilcove (2008) menemukan bahwa 56 persen perluasan kelapa sawit di Indonesia antara tahun 1990 dan 2005 terjadi dengan mengorbankan hutan alam.
"Hilangnya hutan tropis dan hutan gambut Indonesia merupakan pukulan ganda bagi lingkungan," tulis Marian Swain dalam sebuah artikel di laman The Breakthrough Institute.
Swain adalah Energy Policy Analyst di Commonwealth of Massachusetts. Saat menulis artikel tersebut Swain bekerja sebagai Conservation Analyst di The Breakthrough Institute.
Swain menjelaskan pernyataannya tersebut. Pertama, hilangnya hutan akibat pembukaan lahan kelapa sawit ini berkontribusi terhadap perubahan iklim. Pohon melepaskan karbon dioksida yang tersimpan saat ditebang dan dibakar.
Demikian pula, tanah gambut kaya karbon yang ditemukan di hutan tropis Indonesia juga melepaskan karbon dioksida saat dibakar atau dikeringkan.
"Emisi dari kehutanan dan perubahan penggunaan lahan merupakan sumber utama emisi GRK Indonesia, yang mencakup hampir 60 persen dari total emisi negara ini dan menempatkannya di sepuluh besar negara penghasil emisi global," tulis Swain.
Kedua, hilangnya hutan tropis Indonesia menciptakan risiko besar bagi keanekaragaman hayati. Hutan Indonesia merupakan rumah bagi beberapa keanekaragaman hayati terkaya di dunia, menyediakan habitat bagi spesies unik dan terancam punah seperti orang utan, harimau, dan gajah.
Baca Juga: Mengapa Pohon Sawit Sebanyak Apa pun Tidaklah Sama dengan Hutan?
Bisakah kita berhenti menggunakan minyak kelapa sawit?
Jika minyak kelapa sawit mendorong penggundulan hutan di Indonesia, bisakah kita menggunakan sesuatu yang lain sebagai gantinya?
Seorang juru bicara Greenpeace menyarankan kepada NPR bahwa "orang-orang yang membeli produk memiliki banyak alternatif untuk minyak kelapa sawit. Ada banyak produk di luar sana yang tidak mengandung minyak kelapa sawit. Rasanya sama lezatnya; cara kerjanya sama baiknya.”
Vaclav Smil, seorang ilmuwan lingkungan emeritus dari University of Manitoba, pernah mengatakan bahwa "kita menghancurkan Indonesia, membakar hutan agar kita dapat menanam kelapa sawit. Mengapa? Karena Anda ingin makan kue. Anda sejatinya tidak perlu makan begitu banyak kue.”
Sayangnya, kenyataannya, menghindari minyak kelapa sawit jauh lebih sulit daripada yang dibayangkan. Mengingat minyak kelapa sawit ditemukan di sekitar setengah dari semua produk di rak-rak toko kelontong, tidak semudah menghindari satu merek atau bahkan jenis produk.
Minyak kelapa sawit bahkan hadir dalam pola makan vegan. Meskipun ada alternatif untuk minyak kelapa sawit, minyak nabati atau minyak sayur lain seperti kedelai atau kanola semuanya memiliki serangkaian masalah dan kekurangannya sendiri.
Bagaimana minyak kelapa sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya? Secara umum, minyak kelapa sawit lebih unggul.
Pertama, minyak kelapa sawit lebih murah daripada minyak nabati pesaing lainnya. Produk ini telah mempertahankan diskon lebih dari pesaing terdekatnya – minyak kedelai dan minyak bunga matahari – selama beberapa dekade.
Baca Juga: Mengapa Deforestasi Berbahaya dan Bagaimana Cara Menghentikannya?
Kedua, minyak kelapa sawit juga menjadi dominan dalam industri makanan karena sifatnya yang serbaguna dan karakteristik kimianya. Minyak kelapa sawit tidak berbau, tidak berasa, dan, tidak seperti minyak kedelai atau minyak lobak (canola), minyak kelapa sawit tidak memerlukan hidrogenasi untuk mencapai keadaan padat.
Karena sifat ini, minyak kelapa sawit tidak mengandung lemak trans, jenis lemak yang tidak lagi populer dalam industri makanan karena risikonya terhadap kesehatan.
Lemak trans kini dilarang di beberapa negara Barat termasuk Amerika Serikat, dan peralihan dari lemak trans mendorong minyak kelapa sawit untuk menggantikan minyak kedelai sebagai minyak nabati yang dominan secara global.
Ketiga, dan yang terpenting bagi lingkungan, pohon kelapa sawit juga menghasilkan lebih banyak minyak per hektare daripada tanaman minyak lainnya.
Minyak kepala sawit juga memiliki kebutuhan input terendah untuk bahan bakar, pupuk, dan pestisida per ton produksi. Minyak kedelai, misalnya, membutuhkan 6 kali lebih banyak energi, 7 kali lebih banyak nitrogen, dan 14 kali lebih banyak pestisida per ton yang diproduksi daripada minyak kelapa sawit.
Hasil panen minyak kelapa sawit yang tinggi berarti minyak kelapa sawit memiliki efek penghematan lahan dibandingkan dengan alternatifnya. Perluasan pertanian mendorong penggundulan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Jadi, jika kita ingin menyelamatkan lebih banyak lahan untuk alam, para pegiat konservasi perlu fokus untuk menanam lebih banyak di lahan yang lebih sedikit.
Mengganti minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lain yang lebih intensif lahan dan input dapat menjadi kontraproduktif, tergantung di mana perluasan akan terjadi.
Misalnya, Bank Dunia memperkirakan bahwa memenuhi permintaan minyak nabati pada tahun 2020 akan membutuhkan 6,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit. Adapun enggunakan minyak kedelai sebagai gantinya akan membutuhkan tambahan 42 juta hektare.
Produksi minyak kelapa sawit dilakukan di area dengan keanekaragaman hayati dan stok karbon yang tinggi, tetapi pohon kelapa sawit menghasilkan minyak jauh lebih efisien daripada alternatifnya.
Hal ini menempatkan kita pada dilema: kita ingin menyelamatkan hutan primer Indonesia sebanyak mungkin, tetapi permintaan minyak nabati harus dipenuhi, dan minyak kelapa sawit adalah cara paling efisien untuk memproduksinya.
Baca Juga: Apa Dampaknya jika 20 Juta Hektare Hutan Indonesia Ditebang?
Bagaimana dengan menciptakan kawasan hutan lindung?
Deforestasi untuk perkebunan kelapa sawit terus berlanjut di Indonesia bahkan di area yang secara resmi dilindungi dan meskipun pemerintah telah melakukan moratorium terhadap deforestasi.
Sebuah studi oleh Curran et al (2004) menetapkan bahwa kawasan hutan lindung resmi tidak menawarkan perlindungan terhadap deforestasi di Indonesia, dan Kementerian Kehutanan sendiri menemukan bukti deforestasi ilegal yang terjadi di 37 dari 41 taman nasional.
Hal ini sesuai dengan temuan dalam literatur ilmiah bahwa kawasan lindung jarang dapat bertahan terhadap tekanan ekonomi yang kuat. Mascia & Pailler (2011) menganalisis status kawasan lindung di seluruh dunia dan menemukan 89 contoh kawasan lindung yang telah diturunkan statusnya, diperkecil ukurannya, atau dicabut statusnya sejak tahun 1900.
Tekanan utama yang menyebabkan degradasi kawasan lindung adalah ekonomi: mencabut perlindungan untuk membangun infrastruktur, memungkinkan industri untuk mengekstraksi sumber daya alam, atau untuk memberi ruang bagi pemukiman manusia.
Hal ini yang juga masih akan terjadi di Indonesia. Sebagaimana pernyataan Menteri Kehuatan Raja Juli Antoni, pemerintah Indonesia berencana membuka 20 juta hektare hutan untuk pengembangan sektor pangan (kemungkinan besar termasuk kelapa sawit), energi, dan air.
Bagi Indonesia, negara yang sedang berkembang pesat, ekonomi minyak kelapa sawit sangatlah menarik. Industri kelapa sawit di Indonesia menghasilkan sekitar 12,4 miliar dolar AS dalam bentuk devisa dan setidaknya 1 miliar dolar AS dalam bentuk pajak ekspor bagi Indonesia pada tahun 2008. Industri ini merupakan ekspor pertanian terbesar dan ekspor non-migas yang paling berharga Indonesia.
"Selain pendapatan nasional, industri kelapa sawit mempekerjakan sekitar 2 juta orang Indonesia. Di negara dengan 30 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, peran industri dalam mengangkat orang keluar dari kemiskinan sangatlah signifikan," tulis Swain.
Bank Dunia menjelaskan bahwa kelapa sawit menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan per hektare daripada pertanian skala besar lainnya (mempekerjakan sekitar 0,4 orang per hektar), dan lapangan pekerjaan tersebut tersedia sepanjang tahun dan bukan musiman.
Sebuah studi oleh Sumatro dan Suryahadi (2004) menemukan bahwa pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pertanian sebesar 1 persen per tahun mengurangi total kemiskinan sebesar 1,9 poin persentase.
Will McFarland, seorang pakar pembangunan di Overseas Development Institute yang meneliti wilayah Indonesia, dalam pemberitaan Al Jazeera pernah mengatakan, “Pemerintah melihat dolar yang diperoleh melalui ekspor kelapa sawit sebagai salah satu cara untuk meningkatkan standar hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan."
Sebagai negara berkembang, Indonesia sulit mengabaikan manfaat ekonomi kelapa sawit demi perlindungan lingkungan. Serial Showtime pernah menggambarkan korupsi pemerintah sebagai alasan utama mengapa deforestasi terus berlanjut, menyalahkan Menteri Kehutanan dan Presiden Indonesia karena gagal menegakkan hukum mereka terhadap deforestasi. Namun sayangnya, jawabannya tidak sesederhana itu.
Keinginan Indonesia untuk pembangunan ekonomi adalah alasan sebenarnya mengapa kelapa sawit menjadi argumen yang kuat untuk menentang konservasi hutan. Menurut Swain, "Mengingat keinginan Indonesia untuk menjadi negara maju, kemungkinan besar deforestasi untuk kelapa sawit akan terus berlanjut bahkan jika semua korupsi pemerintah dapat dihilangkan."
Namun, tentu saja, jika korupsi benar-benar bisa dibasmi, akan ada banyak keuntungan dari industri kelapa sawit yang masuk ke kas negara ini dan didistribusikan dengan lebih baik untuk seluruh rakyat. Dan sangat mungkin luas hutan yang hilang akibat kelapa sawit bisa lebih diminimalisir.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR