Kedua, minyak kelapa sawit juga menjadi dominan dalam industri makanan karena sifatnya yang serbaguna dan karakteristik kimianya. Minyak kelapa sawit tidak berbau, tidak berasa, dan, tidak seperti minyak kedelai atau minyak lobak (canola), minyak kelapa sawit tidak memerlukan hidrogenasi untuk mencapai keadaan padat.
Karena sifat ini, minyak kelapa sawit tidak mengandung lemak trans, jenis lemak yang tidak lagi populer dalam industri makanan karena risikonya terhadap kesehatan.
Lemak trans kini dilarang di beberapa negara Barat termasuk Amerika Serikat, dan peralihan dari lemak trans mendorong minyak kelapa sawit untuk menggantikan minyak kedelai sebagai minyak nabati yang dominan secara global.
Ketiga, dan yang terpenting bagi lingkungan, pohon kelapa sawit juga menghasilkan lebih banyak minyak per hektare daripada tanaman minyak lainnya.
Minyak kepala sawit juga memiliki kebutuhan input terendah untuk bahan bakar, pupuk, dan pestisida per ton produksi. Minyak kedelai, misalnya, membutuhkan 6 kali lebih banyak energi, 7 kali lebih banyak nitrogen, dan 14 kali lebih banyak pestisida per ton yang diproduksi daripada minyak kelapa sawit.
Hasil panen minyak kelapa sawit yang tinggi berarti minyak kelapa sawit memiliki efek penghematan lahan dibandingkan dengan alternatifnya. Perluasan pertanian mendorong penggundulan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Jadi, jika kita ingin menyelamatkan lebih banyak lahan untuk alam, para pegiat konservasi perlu fokus untuk menanam lebih banyak di lahan yang lebih sedikit.
Mengganti minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lain yang lebih intensif lahan dan input dapat menjadi kontraproduktif, tergantung di mana perluasan akan terjadi.
Misalnya, Bank Dunia memperkirakan bahwa memenuhi permintaan minyak nabati pada tahun 2020 akan membutuhkan 6,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit. Adapun enggunakan minyak kedelai sebagai gantinya akan membutuhkan tambahan 42 juta hektare.
Produksi minyak kelapa sawit dilakukan di area dengan keanekaragaman hayati dan stok karbon yang tinggi, tetapi pohon kelapa sawit menghasilkan minyak jauh lebih efisien daripada alternatifnya.
Hal ini menempatkan kita pada dilema: kita ingin menyelamatkan hutan primer Indonesia sebanyak mungkin, tetapi permintaan minyak nabati harus dipenuhi, dan minyak kelapa sawit adalah cara paling efisien untuk memproduksinya.
Baca Juga: Apa Dampaknya jika 20 Juta Hektare Hutan Indonesia Ditebang?
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR