Bagaimana dengan menciptakan kawasan hutan lindung?
Deforestasi untuk perkebunan kelapa sawit terus berlanjut di Indonesia bahkan di area yang secara resmi dilindungi dan meskipun pemerintah telah melakukan moratorium terhadap deforestasi.
Sebuah studi oleh Curran et al (2004) menetapkan bahwa kawasan hutan lindung resmi tidak menawarkan perlindungan terhadap deforestasi di Indonesia, dan Kementerian Kehutanan sendiri menemukan bukti deforestasi ilegal yang terjadi di 37 dari 41 taman nasional.
Hal ini sesuai dengan temuan dalam literatur ilmiah bahwa kawasan lindung jarang dapat bertahan terhadap tekanan ekonomi yang kuat. Mascia & Pailler (2011) menganalisis status kawasan lindung di seluruh dunia dan menemukan 89 contoh kawasan lindung yang telah diturunkan statusnya, diperkecil ukurannya, atau dicabut statusnya sejak tahun 1900.
Tekanan utama yang menyebabkan degradasi kawasan lindung adalah ekonomi: mencabut perlindungan untuk membangun infrastruktur, memungkinkan industri untuk mengekstraksi sumber daya alam, atau untuk memberi ruang bagi pemukiman manusia.
Hal ini yang juga masih akan terjadi di Indonesia. Sebagaimana pernyataan Menteri Kehuatan Raja Juli Antoni, pemerintah Indonesia berencana membuka 20 juta hektare hutan untuk pengembangan sektor pangan (kemungkinan besar termasuk kelapa sawit), energi, dan air.
Bagi Indonesia, negara yang sedang berkembang pesat, ekonomi minyak kelapa sawit sangatlah menarik. Industri kelapa sawit di Indonesia menghasilkan sekitar 12,4 miliar dolar AS dalam bentuk devisa dan setidaknya 1 miliar dolar AS dalam bentuk pajak ekspor bagi Indonesia pada tahun 2008. Industri ini merupakan ekspor pertanian terbesar dan ekspor non-migas yang paling berharga Indonesia.
"Selain pendapatan nasional, industri kelapa sawit mempekerjakan sekitar 2 juta orang Indonesia. Di negara dengan 30 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, peran industri dalam mengangkat orang keluar dari kemiskinan sangatlah signifikan," tulis Swain.
Bank Dunia menjelaskan bahwa kelapa sawit menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan per hektare daripada pertanian skala besar lainnya (mempekerjakan sekitar 0,4 orang per hektar), dan lapangan pekerjaan tersebut tersedia sepanjang tahun dan bukan musiman.
Sebuah studi oleh Sumatro dan Suryahadi (2004) menemukan bahwa pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pertanian sebesar 1 persen per tahun mengurangi total kemiskinan sebesar 1,9 poin persentase.
Will McFarland, seorang pakar pembangunan di Overseas Development Institute yang meneliti wilayah Indonesia, dalam pemberitaan Al Jazeera pernah mengatakan, “Pemerintah melihat dolar yang diperoleh melalui ekspor kelapa sawit sebagai salah satu cara untuk meningkatkan standar hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan."
Sebagai negara berkembang, Indonesia sulit mengabaikan manfaat ekonomi kelapa sawit demi perlindungan lingkungan. Serial Showtime pernah menggambarkan korupsi pemerintah sebagai alasan utama mengapa deforestasi terus berlanjut, menyalahkan Menteri Kehutanan dan Presiden Indonesia karena gagal menegakkan hukum mereka terhadap deforestasi. Namun sayangnya, jawabannya tidak sesederhana itu.
Keinginan Indonesia untuk pembangunan ekonomi adalah alasan sebenarnya mengapa kelapa sawit menjadi argumen yang kuat untuk menentang konservasi hutan. Menurut Swain, "Mengingat keinginan Indonesia untuk menjadi negara maju, kemungkinan besar deforestasi untuk kelapa sawit akan terus berlanjut bahkan jika semua korupsi pemerintah dapat dihilangkan."
Namun, tentu saja, jika korupsi benar-benar bisa dibasmi, akan ada banyak keuntungan dari industri kelapa sawit yang masuk ke kas negara ini dan didistribusikan dengan lebih baik untuk seluruh rakyat. Dan sangat mungkin luas hutan yang hilang akibat kelapa sawit bisa lebih diminimalisir.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR