Nationalgeographic.co.id—Kepiting dilindungi oleh cangkang yang keras. Apakah mereka bisa merasakan sakit?
Semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa kepiting, lobster, dan hewan lain yang ditangkap untuk dijadikan hidangan laut dapat merasakan sakit. Para ilmuwan mendorong perlindungan hukum untuk memastikan mereka diperlakukan secara manusiawi.
Kepiting sering direbus hidup-hidup sebelum dikonsumsi. Sebagian percaya bahwa kepiting tidak merasakan sakit. Pasalnya, mereka tidak memiliki daerah otak yang bertanggung jawab untuk memproses rasa sakit.
Tetapi apakah itu benar atau jangan-jangan justru kepiting bisa merasakan sakit?
Kepiting pantai (Carcinus maenas) mungkin dapat merasakan sakit, menurut sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Biology. Studi tersebut bertajuk Putative Nociceptive Responses in a Decapod Crustacean: The Shore Crab (Carcinus maenas).
Para peneliti menemukan bahwa kepiting ini memiliki nociceptor. Nociceptor adalah ujung saraf yang mendeteksi kerusakan pada tubuh dan mengirimkan sinyal rasa sakit ke otak.
Para peneliti menguji respons 20 kepiting terhadap rangsangan yang menyakitkan. Misalnya tusukan dari instrumen plastik. Mereka juga mengoleskan sedikit cuka yang dioleskan ke mata, antena, dan jaringan lunak di antara capit dan di persendian.
“Elektroda kemudian mengukur respons sistem saraf pusat kepiting,” tulis Olivia Ferrari di laman Livescience. Dan para ilmuwan melihat bahwa respons tersebut konsisten dengan respons nociceptif. Hal ini tidak terjadi ketika para peneliti menggunakan zat yang tidak menimbulkan rasa sakit seperti air laut.
Reseptor nyeri, yang juga dimiliki manusia dan banyak mamalia lainnya, diaktifkan saat tubuh terluka atau terancam cedera. Reseptor ini berkomunikasi dengan otak, melalui rasa sakit, tubuh menghadapi kemungkinan ancaman. Alhasil, hewan dapat meresponsnya dengan tepat.
Keberadaan reseptor nyeri saja tidak serta merta berarti hewan merasakan sakit, kata rekan penulis studi Eleftherios Kasiouras. Kasiouras adalah ahli biologi di Universitas Gothenburg di Swedia.
Reseptor nyeri dapat memicu refleks nyeri — seperti naluri mengangkat tangan dari kompor panas. Namun, manusia merasakan nyeri di otak. Jadi, meskipun reseptor nyeri saja tidak membuktikan kepiting merasakan sakit, reseptor ini merupakan salah satu bagian dari teka-teki.
Baca Juga: Pareidolia dalam Kisah Kepiting Hantu Samurai Kekaisaran Jepang
Studi lai: kepiting merasakan sakit
Kasiouras mengatakan bahwa ia tidak terkejut menemukan reseptor nyeri pada kepiting. Penelitian sebelumnya juga telah menemukan lobster dan kepiting merespons nyeri secara perilaku. Kombinasi respons perilaku ini dengan respons sistem saraf pusat membuat hewan lebih mungkin merasakan sakit.
Salah satu cara ilmuwan mengukur apakah seekor hewan merasakan sakit adalah melalui daftar kriteria. Daftar itu mencakup apakah hewan tersebut memiliki nociceptor, daerah otak yang berhubungan dengan rasa sakit.
Juga nterkoneksi antara reseptor ini dan daerah otak, respons terhadap anestesi. Serta perilaku perlindungan diri sebagai respons terhadap cedera atau ancaman cedera.
Penelitian pada kepiting pertapa menunjukkan bahwa hewan ini menunjukkan perilaku perlindungan diri sebagai respons terhadap cedera. Kepiting pertapa akan meninggalkan cangkangnya untuk menghindari sengatan listrik.
Hal ini diungkap dalam sebuah studi yang bertajuk “Trade-offs between predator avoidance and electric shock avoidance in hermit crabs demonstrate a non-reflexive response to noxious stimuli consistent with prediction of pain”.
Kepiting pertapa cenderung tidak melakukannya jika ada bau predator. Hal ini menunjukkan bahwa ada pertukaran sadar antara menghindari rasa sakit dan menghindari predator. Hal ini memperkuat gagasan bahwa kepiting pertapa merasakan sakit (bukannya mereka melarikan diri dari cangkangnya sebagai refleks).
Studi baru pada kepiting pantai memenuhi kriteria lain, yang secara kuat menunjukkan bahwa kepiting dapat merasakan sakit.
Mengingat buktinya, para ilmuwan yang bekerja di bidang ini menyerukan larangan merebus kepiting dan lobster hidup-hidup. Mereka menyebutnya sebagai praktik yang tidak manusiawi. Larangan telah dibahas dan diajukan di Inggris. Dan larangan sudah diberlakukan di Swiss, Norwegia, dan Selandia Baru.
Ilmuwan juga meneliti apakah cumi-cumi, remis, dan kerang memenuhi kriteria untuk merasakan nyeri. Namun hasilnya beragam. Ketiganya memang memiliki nociceptor. Dan beberapa menunjukkan perilaku menghindari nyeri. Tetapi ilmuwan belum memahami otak mereka sebaik otak mamalia.
“Kita manusia menggunakan hewan untuk makanan, untuk penelitian laboratorium, dan banyak produk lainnya,” kata Kasiouras. “Jika mereka merasakan nyeri, kita perlu membuat undang-undang tentang cara memperlakukan mereka secara manusiawi. Tujuannya agar hidup mereka tidak menderita dan meminimalkan nyerinya.”
Source | : | Livescience |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR