Nationalgeographic.co.id—Lebih dari 130 tahun sejak penemuan fosil Pithecanthropus erectus oleh Eugene Dubois, masih ada saja fakta yang perlu diluruskan.
Pria bernama Marie Eugene Francois Thomas Dubois mengawali ekspedisinya ke Nusantara pada 1887. Awalnya ia berjejak di Sumatra Barat. Lalu mengubah tujuannya ke Jawa, setelah mengetahui penemuan Homo wajakensis di Tulungagung pada 1889.
Perjalanan Eugene ke Tulungagung merupakan cikal bakal penemuan yang menjadi jembatan ‘kekosongan’ informasi yang disebut the missing link. Dalam catatan histori asal-usul manusia, masih ada tanda tanya bagaimana dan spesies apa yang berevolusi menjadi manusia modern.
Teori Out of Africa menyebutkan bahwa nenek moyang manusia modern berasal dari Afrika sekitar 2 juta tahun lalu. Berdasar bukti temuan fosil Homo ergaster sebagai spesies manusia pertama yang migrasi dari Afrika hingga ke Eurasia Selatan sekitar 1,75 juta tahun lalu.
Setelah bermigrasi keluar dari Afrika, Homo ergaster memiliki spesies keturunan yang lebih dikenal dengan Homo erectus. Sekarang, kita lebih mengenal Homo erectus sebagai manusia purba pertama yang tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Nusantara.
Di Jawa, perjalanan pertama Eugene bermula dengan menyusuri Sungai Bengawansolo yang membawanya menemukan fragmen rahang pendek dan sebagian geraham di Kedungbrubus, Jawa Timur. Setelah menemukan fosil di wilayah ini, Eugene memindahkan ekspedisinya ke desa di Trinil, Ngawi pada 1891. Di lokasi inilah ia menemukan fosil paha, tempurung kepa, dan gigi geraham manusia.
Dari temuan di Trinil, menunjukkan adanya bentuk yang sama antara tempurung manusia dan kera, serta dari fosil paha diyakini bahwa spesies ini dapat berjalan dengan tegak. Fosil ini, hingga detik ini kita kenal sebagai Pithecanthropus erectus yang artinya manusia yang berdiri tegak. Pada perkembangan selanjutnya, spesies ini dikategorikan sebagai Homo erectus.
Namun sayangnya, sejarah panjang perjalanan Eugene Dubois menemukan fosil Pithecanthropus di Nusantara, ternyata menimbulkan polemik dalam pembahasan histori peralihan kehidupan manusia purba ke modern.
Diskusi publik daring yang diadakan oleh Center for Prehistory and Austronesian Studies (CPAS) mengusung topik Looking beyond the Eugene Dubois archive. Acara ini mengajak audiens untuk mengulik catatan-catatan dari arsip Eugene Dubois selama melakukan penelitian di Situs Trinil.
Paul Cornelis Hendrikus Albers memberikan materi dari buku yang ditulisnya bertajuk, The Correspondence of Eugene Dubois. Buku berisikan catatan-catatan dari arsip milik Eugene Dubois itu mengungkapkan fakta-fakta yang simpang siur mengenai Dubois dan temuannya di Trinil.
“Di dalam ruangan arsip Dubois, terdapat delapan meter foto negatif kaca,” ujar Paul Albers menceritakan isi ruangan arsip milik Eugene Dubois.
Baca Juga: Apa yang Kita Harapkan Setelah 130 Tahun Penemuan Pithecantropus erectus?
Paul merupakan ahli biologi dari Natural History Museum di Leiden. Negatif kaca adalah medium fotografi dalam bentuk kaca, yang dahulu sering digunakan untuk mendokumentasikan hal penting seperti penemuan arkeologi.
Selain itu, arsip-arsip penting lainnya ada surat-surat yang ditulis oleh Eugene sendiri dan teman-teman Eropanya, lalu laporan hasil temuan-temuannya, serta catatan-catatan lapangan penelitian miliknya. “Arsip-arsip ini pertama kali dipindai pada 2005 dan menjadi satu-satunya arsip terbesar paling utama menghimpun temuan Eugene,” ujar Paul.
Arsip-arsip Eugene Dubois yang sudah dipindai ini, kemudian diterbitkan oleh penerbit Brill dengan judul Through Eugene Dubois Eyes Still a Turbulent Life. Dalam buku ini, negatif kaca berukuran delapan meter di dalam ruang arsip Eugene, turut diabadikan dan dipindai.
“Jadi setelah mengabadikan arsip milik Dubois. Apa yang bisa kita lakukan dengan itu?” tanya Paul. Ia menjelaskan bahwa ada banyak kemungkinan yang tidak masuk akal mengenai Dubois dan temuannya. Kemungkinan ini adalah kesalahan informasi yang bisa merusak sejarah aslinya.
“Ada siniar di Belanda mengenai jurnalis yang pergi ke Ngawi, Trinil dan kembali ke Belanda dan menyiarkan bahwa fosil-fosil di Trinil dipindahkan tiap minggu menggunakan kapal dari Benteng van den Bosch ke Ngawi, lalu dipindahkan ke stasiun kereta api Ngawi menuju Tulungagung. Itu salah!” tegas Paul. Ia menyebutkan bahwa hal tersebut disiarkan tanpa ada bukti.
Nyatanya, fosil-fosil tersebut dipindahkan ke stasiun kereta api Kedunggalar yang jaraknya lebih dekat. Lalu, fosil-fosil ini pun tidak dipindahkan tiap minggu, namun hanya ketika dibutuhkan saja.
Selama beberapa dekade, tersiar kabar bahwa tidak ada fosil fauna di Trinil. Paul mengungkapkan bahwa kabar itu tidak benar. Pasalnya, dalam surat pada 1891, Dubois menulis bahwa ia menemukan rahang bawah hippopotamus beserta dua geraham. “Kenapa orang-orang melewatkan hal penting ini? Padahal Hooijer di tahun 1950 sudah pernah mempublikasikannya,” ujar Paul.
Tidak hanya temuan fosil hippopotamus di Trinil. Akan tetapi, pada kedalaman yang sama atau sedikit di atas ditemukannya tulang femur, juga terdapat tulang rahang bawah dan gading dari stegodon. Temuan femur manusia dan fosil dari stegodon yang berada dalam wilayah yang sama menyulitkan untuk menggolongkan femur itu milik Homo sapiens, karena seperti yang kita ketahui, stegodon hidup 700 ratus ribu tahun yang lalu atau lebih lampau.
Paul merujuk artikel dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde berjudul “Java Man and the Politics of Natural History: An Object Biography” yang terbit pada 2021. Ia menyebutkan pada halaman 297 yang tertulis, "Ketika Eugene Dubois kembali ke Belanda pada 1895, dia membawa fosil Pithecanthropus erectus bersamanya sebagai milik pribadi."
Dalam layar Zoom, Paul menampilkan hasil pindaian kontrak kesepakatan antara Eugene dan pemerintah Hindia Belanda pada 1889. Di dalam kontrak disebutkan bahwa Eugene hanya ditunjuk untuk melakukan riset, dan temuan-temuan fosil adalah milik pemerintah. Hingga kini, fosil asli yang ditemukan oleh Eugene Dubois di Trinil masih menjadi koleksi Naturalis Biodiversity Center Leiden di Belanda.
Ada banyak pernyataan-pernyataan sejarah yang perlu diluruskan mengenai Eugene Dubois dan temuannya di Trinil. Seperti, 50 pekerja lokal yang dipekerjakan secara paksa tidak mendapat upah, padahal pada kenyataannya tidak demikian. Namun, ada juga kebenaran atas sikap Eugene Dubois sebagaimana seorang kolonial di masa itu yakni bersikap rasis.
Paul menyimpulkan pada akhir diskusinya bahwa koleksi sejarah naturalis harus dikembalikan ke Indonesia, ke tempat di mana semuanya berasal. Temuan dan arsip-arsip penting ini menjadi krusial bagi histori peradaban manusia. “Ratusan tahun bahkan tidak cukup untuk menyingkap ini semua, karena ada begitu banyak hal di dalamnya,” tutup Paul.
Tampaknya, diskusi mengenai kelengkapan sejarah peradaban manusia masih tumpang tindih dan memerlukan waktu panjang untuk melengkapinya. Ada banyak misteri yang perlu diselesaikan, ada banyak mitos yang harus dipatahkan dengan fakta dan bukti sains. Sejatinya, misteri tentang manusia dan peradabannya akan selalu menemukan celah lain untuk diungkap.
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR