Nationalgeographic.co.id—Kolaborasi yang erat antara para peneliti dari University of Nottingham di Inggris dan Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia (BRIN) telah menghasilkan sebuah studi inovatif yang bertujuan untuk mengatasi masalah limbah dalam produksi cokelat, sebuah tantangan besar bagi keberlanjutan industri ini.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal terkemuka Chemical Engineering Science ini menggali lebih dalam mengenai akar permasalahan limbah cokelat dan mengusulkan solusi transformatif untuk secara signifikan mengurangi volume limbah yang dihasilkan.
Fakta yang mencengangkan terungkap bahwa sekitar tiga perempat dari keseluruhan tanaman kakao yang digunakan dalam produksi cokelat berakhir sebagai limbah yang terbuang percuma.
Di Indonesia, negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia yang menyumbang 13% dari produksi kakao global, masalah ini sangat terasa. Lebih dari 500.000 ton limbah kakao menumpuk di lahan-lahan pertanian setiap tahunnya.
Penumpukan limbah dalam jumlah besar ini tidak hanya menjadi sumber penyakit tanaman yang merugikan hasil panen, tetapi juga memicu masalah polusi udara yang serius, mengancam kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar.
Perlu dipahami bahwa buah kakao secara alami terdiri dari dua komponen utama: kulit buah kakao dan biji kakao. Ironisnya, dalam industri cokelat konvensional, hanya biji kakao yang dimanfaatkan sebagai bahan baku utama, sementara kulit buah kakao, yang merupakan bagian terbesar dari buah, seringkali dianggap sebagai limbah yang tidak bernilai.
Pada tahun 2021, produksi biji kakao dunia mencapai angka fantastis 5,6 juta ton, yang dihasilkan dari lahan seluas 11,5 juta hektar di seluruh dunia. Tiga negara teratas, yaitu Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia, mendominasi pasar dengan menyumbang 67% dari total produksi kakao global.
Namun, di balik kesuksesan produksi biji kakao ini, tersembunyi masalah besar limbah kulit buah kakao. Selama proses produksi biji kakao, kulit buah kakao (CPH) muncul sebagai produk sampingan utama.
Volume CPH ini sangat signifikan, mencapai 76–86% dari berat total buah kakao basah. Sebagai gambaran, untuk setiap satu ton biji kakao kering yang dihasilkan, sepuluh ton kulit buah kakao basah akan terbuang sebagai limbah.
Menyadari potensi besar yang terbuang percuma dalam limbah kulit buah kakao ini, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi strategi cerdas untuk mengubah limbah menjadi sumber daya berharga.
Para peneliti, seperti dilansir laman resmi University of Nottingham, berfokus pada upaya untuk membuat industri cokelat menjadi lebih berkelanjutan dengan memanfaatkan temuan-temuan inovatif mereka.
Baca Juga: Sanggupkah Sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi Percepat Sustainability?
Tim peneliti yang dipimpin oleh Dr. Shinta Rosalia Dewi, bersama dengan Associate Professor Eleanor Binner, Senior Research Fellow Lee Stevens, Research Fellow Yujie Mao, Associate Professor Rebecca Ferrari, dan Professor Derek Irvine dari University of Nottingham, telah membuat penemuan penting.
Mereka menemukan bahwa CPH memiliki potensi luar biasa sebagai bahan baku untuk memproduksi antioksidan berbasis fenolik dan beragam material berharga lainnya. Pemanfaatan CPH ini tidak hanya dapat meningkatkan nilai ekonomi limbah kakao, tetapi juga secara signifikan mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan.
Melalui kolaborasi yang erat dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia (BRIN), para peneliti berhasil mendemonstrasikan bahwa limbah kakao dapat diubah menjadi berbagai biokimia dan material bernilai tinggi. Produk-produk turunan dari limbah kakao ini memiliki potensi aplikasi yang luas dalam berbagai sektor industri, termasuk industri pangan, bioenergi, dan pengolahan polusi.
Associate Professor Eleanor Binner dari Fakultas Teknik University of Nottingham dengan antusias menyampaikan pandangannya mengenai penelitian ini.
“Karya penelitian yang dipimpin oleh Dr. Shinta Dewi ini memberikan kesempatan berharga untuk mengakses fasilitas laboratorium Nottingham yang sangat lengkap, termasuk peralatan pemrosesan gelombang mikro yang unik," papar Binner.
"Hal ini memungkinkan beliau untuk mengembangkan keterampilan dan menghasilkan temuan-temuan penting yang mendukung pengembangan proses biorefinery untuk mengatasi masalah limbah pertanian di Indonesia. Ini adalah bidang penelitian yang sangat relevan dan mengatasi masalah utama yang dihadapi oleh sektor ini.”
KOMENTAR