Nationalgeographic.co.id—World Economic Forum’s Annual Meeting 2025 yang berlangsung di Davos pada bulan Januari ini dipenuhi dengan perdebatan sengit mengenai energi dan iklim. Dalam diskusi tersebut, dua perasaan kontradiktif, yaitu kecemasan dan harapan, hadir secara bersamaan.
Di satu sisi, angka-angka yang menggambarkan keruntuhan iklim dengan jelas terpampang, mengingatkan kita akan urgensi masalah ini. Data-data ini seolah berlomba untuk mendapatkan perhatian, menyoroti betapa gentingnya situasi planet kita.
Namun, di sisi lain, secercah harapan muncul dari transisi menuju ekonomi rendah karbon. Tanda-tanda positif dari upaya ini memberikan optimisme di tengah tantangan yang berat.
Suasana ketidakpastian geopolitik juga turut mewarnai pertemuan di Davos. Isu ini menjadi lapisan tambahan dalam kompleksitas perdebatan. Amerika Serikat, bersama dengan beberapa negara lain, mengisyaratkan adanya potensi pergeseran kebijakan terkait transisi energi.
Mereka mempertimbangkan untuk lebih fokus pada ekstraksi bahan bakar fosil. Alasan yang dikemukakan adalah demi menjaga keamanan pasokan energi yang terjangkau dan dapat diandalkan.
"Namun, apakah keberlanjutan harus menjadi musuh keamanan dan keterjangkauan energi, atau bisakah dunia memiliki ketiganya sekaligus?" tanya Jonathan Walter dalam artikel yang dilansir weforum.org.
Kenyataan pahit statistik iklim: Saatnya tersadar
Kita hidup di zaman yang membutuhkan kesadaran penuh akan krisis iklim. Tahun lalu tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah manusia, sebuah rekor yang memilukan karena suhu global untuk pertama kalinya melampaui batas aman 1,5°C.
Setiap tahun, para pakar iklim terkemuka dunia berkumpul di Davos, bukan untuk merayakan kemajuan, melainkan untuk menyampaikan kenyataan yang semakin mengerikan. Suasana pertemuan itu terasa seperti menghadapi regu tembak, di mana setiap statistik yang terungkap adalah peluru yang menghantam kesadaran kita.
Mari kita simak beberapa fakta mencengangkan yang terungkap dalam pertemuan tahun ini:
* Al Gore, mantan Wakil Presiden AS, dengan gamblang menggambarkan dahsyatnya polusi yang telah terakumulasi di atmosfer kita. Menurutnya, jumlah polusi ini memerangkap panas setara dengan ledakan 750.000 bom atom generasi pertama SETIAP HARI di seluruh dunia. "Sungguh gila bagi kita untuk membiarkan hal ini terus berlanjut," serunya, menyuarakan keputusasaan yang mendalam.
Baca Juga: Sustainability: Lewat Pangan Laut, Indonesia bisa Jadi Lumbung Pangan bagi Miliaran Orang
KOMENTAR