Nationalgeographic.co.id—Visi Indonesia untuk menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045 merupakan ambisi yang patut diapresiasi.
Dalam mencapai tujuan ini, perdagangan dan investasi menjadi instrumen kunci yang diandalkan oleh para pengambil kebijakan. Namun, tantangan global seperti ketegangan geopolitik dan perubahan iklim turut mewarnai lanskap ekonomi Indonesia.
Sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia telah lama dikenal sebagai eksportir komoditas lunak terkemuka seperti minyak sawit, karet, dan kertas.
Komoditas-komoditas ini, di satu sisi, menjadi tulang punggung perekonomian dan menyerap tenaga kerja, terutama bagi petani kecil. Di sisi lain, produksi komoditas ini seringkali dikaitkan dengan praktik-praktik yang tidak berkelanjutan, seperti deforestasi dan peningkatan emisi gas rumah kaca akibat perubahan penggunaan lahan.
Meskipun Indonesia secara keseluruhan merupakan pengekspor bersih emisi yang tertanam dalam perdagangan, seperti diungkap oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), negara ini juga menjadi tujuan investasi utama di kawasan ASEAN.
Potensi investasi ini dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang hijau dan berkelanjutan. Dengan kata lain, menurut Kimberley Botwright di laman World Economic Forum, "Negara ini dapat menargetkan kegiatan yang sekaligus mengurangi karbonisasi ekspor yang ada dan membangun posisi dalam rantai nilai rendah karbon baru."
Sektor baja, misalnya, telah mengalami pertumbuhan yang signifikan di Indonesia dan kini menjadi salah satu komoditas ekspor utama. Kenaikan peringkat Indonesia dalam jajaran eksportir besi dan baja dunia merupakan prestasi yang membanggakan.
Namun, sejalan dengan komitmen global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai tujuan iklim, industri baja perlu melakukan transformasi besar-besaran.
Badan Energi Internasional (IEA) telah menetapkan target ambisius, yakni penurunan intensitas emisi karbon dioksida langsung rata-rata produksi baja sebesar 60% pada tahun 2050 dibandingkan dengan tingkat saat ini.
Untuk mencapai target tersebut, industri baja perlu mengadopsi teknologi dan proses produksi yang lebih bersih dan efisien. Beberapa teknologi yang menjanjikan antara lain penggunaan hidrogen, penangkapan dan penyimpanan karbon, bioenergi, elektrifikasi langsung, serta peningkatan penggunaan baja bekas.
Dengan berinvestasi dalam teknologi-teknologi ini, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi emisi karbon dari sektor baja tetapi juga meningkatkan daya saing produknya di pasar global yang semakin menuntut produk-produk yang ramah lingkungan.
Baca Juga: Perusahaan Ini Ubah Limbah Pertanian jadi Alternatif Minyak Kelapa Sawit
KOMENTAR