Investasi iklim yang adil: Menghadapi ketimpangan transisi energi
Investasi iklim global saat ini menghadapi tantangan serius terkait distribusi yang tidak merata. Sebanyak 85% dari total investasi energi senilai AS$3 triliun justru mengalir ke negara-negara maju dan Tiongkok. Ironisnya, hanya 15% sisanya yang dialokasikan untuk negara-negara berkembang, padahal negara-negara ini adalah rumah bagi 60% populasi dunia.
Ketimpangan ini menciptakan jurang yang besar, terutama dalam akses energi. Di Afrika, lebih dari 600 juta orang masih hidup tanpa listrik, sebuah kondisi yang digambarkan secara tajam sebagai "sebagian besar umat manusia secara harfiah dalam kegelapan."
Menurut Fatih Birol, masalah ketidaksetaraan investasi ini adalah "garis patahan" terbesar dalam transisi energi global, dengan Afrika menjadi tantangan terbesarnya. Meskipun benua Afrika hanya menyumbang sekitar 2-3% emisi global dari sumber energi dan industri, mereka justru paling merasakan dampak perubahan iklim dan kemiskinan energi.
Situasi ini memicu perdebatan sengit di Forum Terbuka Davos mengenai apakah Afrika harus diizinkan mengembangkan cadangan bahan bakar fosilnya sebagai bagian dari transisi energi yang adil.
Ipeleng Selele, Ketua Brand South Africa, menjelaskan bahwa jawabannya kompleks dan memerlukan pendekatan campuran energi yang beragam. Afrika Selatan, misalnya, sedang mengembangkan terminal gas alam cair (LNG) untuk memenuhi kebutuhan energi industri dasar. Di saat yang sama, mereka juga berupaya memaksimalkan potensi sumber daya terbarukan seperti matahari dan angin, serta menjajaki hidrogen hijau.
Namun, Selele menekankan bahwa modernisasi jaringan listrik adalah langkah mendesak yang memerlukan waktu sekitar 10 tahun agar dapat menyerap dan mendistribusikan listrik secara efisien. Ia menegaskan bahwa transisi energi tidak bisa dipaksakan secara instan dan memerlukan tahapan yang realistis.
Masalah krusial lainnya adalah pembiayaan transisi energi. Karena sebagian besar investasi iklim terkonsentrasi di negara maju, negara-negara Afrika terpaksa meminjam dana dengan suku bunga yang sangat tinggi.
Analisis dari organisasi nirlaba The ONE Campaign menunjukkan bahwa negara-negara Afrika membayar premi pinjaman swasta hingga 500% lebih tinggi dibandingkan suku bunga yang bisa mereka dapatkan dari Bank Dunia.
Kondisi ini semakin diperparah dengan beban utang Afrika yang diperkirakan mencapai AS$102,6 miliar pada tahun 2024. Akibatnya, arus keuangan justru terbalik: lebih banyak uang keluar dari Afrika untuk pembayaran utang daripada yang masuk sebagai bantuan pembangunan atau utang baru.
Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, menyampaikan di Forum Davos bahwa mengatasi ketidaksetaraan beban utang Afrika akan menjadi prioritas utama selama kepresidenan Afrika Selatan di G20 tahun ini.
Era baru transisi energi global
Di tengah perbincangan mengenai masa depan transisi energi global, sorotan tertuju pada generasi penerus yang akan mewarisi perubahan ini. Gao, seorang tokoh yang tumbuh dengan inspirasi dari film pemenang Oscar, "An Inconvenient Truth" karya Al Gore—sebuah film yang membangkitkan kesadarannya tentang isu lingkungan sejak usia 13 tahun—berbagi pandangannya bersama Gore.
Dalam kesempatan tersebut, Gao menegaskan bahwa "Perubahan iklim bukan sekadar krisis lingkungan. Ini adalah ujian berat bagi seluruh peradaban manusia." Pernyataan ini menggarisbawahi betapa mendesaknya masalah perubahan iklim dan dampaknya yang luas bagi kehidupan manusia.
Setelah berkecimpung selama delapan tahun di industri energi, Gao merefleksikan pengalamannya dan menyampaikan keyakinannya yang mendalam.
"Saya tahu pasti bahwa kita harus memasuki awal dari era baru. Transisi energi bukan hanya tentang energi itu sendiri, tetapi juga tentang martabat manusia, keamanan global, dan terbukanya berbagai peluang baru," tambahnya.
KOMENTAR