Egy sendiri adalah pemasok awetan kupu-kupu untuk kolektor di berbagai negara. Ia mewarisi usaha ini dari ayahnya pada 2021 lalu. “Makanya saya bikin penangkaran, supaya nggak tangkap liar. Suatu hari saya pingin bikin penangkaran ini jadi kawasan wisata biar orang bisa datang melihat kupu-kupu hidup,” ia mulai bercerita.
“Sejak kecil sampai sekarang, hidup saya ya memang dari kupu-kupu,” ujar Egy.
Meky McDelly, ayahnya, merupakan salah satu orang Indonesia pertama yang merintis jejaring dengan kolektor serangga di seluruh dunia. “Tahun 1971, ayah kenalan sama kolektor dari Jepang yang sering berburu kupu-kupu di Maluku. Akhirnya ikut masuk hutan cari kupu-kupu. Pas itu belum ada orang Indonesia yang tahu jual kupu-kupu, ayah yang pertama,” ungkapnya.
Egy yang saat itu masih kecil pun sering menghabiskan waktunya membuntuti ayahnya bekerja. Termasuk pada 1992 ketika ayahnya membeli dan membangun penangkaran ini. Momen-momen inilah yang membuatnya jatuh suka, dan mulai mempelajari pengetahuan seputar kupu-kupu secara otodidak. Maka tak heran melihatnya berperan seperti ensiklopedia berjalan ketika menemani kami berkeliling di habitat kupu-kupu di sekitar penangkarannya.
“Sebenarnya di sini juga ada kumbang, tapi saya tidak suka. Saya suka kupu-kupu karena melihat proses transformasi mereka dari ulat bisa jadi indah begitu,” jelasnya bersemangat.
Tak sampai 50 meter dari kandang, sebuah pondokan sederhana berdiri. Pondok ini adalah tempat istirahat, sekaligus tempat tinggal Egy dan karyawannya ketika merawat kupu-kupu dan harus menginap hingga berhari-hari. Meski tak terjangkau listrik dan sinyal, area yang berada dekat sungai dan batas hutan ini adalah habitat ideal bagi kupu-kupu.
Untuk mengelola penangkaran ini, saat ini Egy juga dibantu oleh keponakannya Carlos McDelly (31). Bersama beberapa karyawan, Carlos bertugas untuk memastikan sirih hutan dan bunga-bunga terus tersedia, mengawasi telur, hingga merawat kepompong. “Saya ikut paman kerja di sini, hitung-hitung meneruskan warisan keluarga,” ujarnya.
Seperti Egy yang mempelajari ilmu soal kupu-kupu dari ayahnya, Carlos pun kini mendapat pengetahuan itu dari Egy. “Semuanya saya pelajari dari ayah dan teman-temannya. Paling yang berbeda, kalau dulu ayah maunya penangkaran terbuka jadi tidak pakai kandang, tapi karena situasi hutan sekarang tidak aman, jadi saya bikin kandang.”
Awalnya, penangkaran ini memang dibuat Egy dan ayahnya untuk memenuhi syarat perizinan jual beli satwa yang ditetapkan oleh KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Namun sejak merasakan sendiri bagaimana dampak pembabatan hutan hutan dekat penangkaran oleh perusahaan tambang pasir yang dibarengi penurunan populasi kupu-kupu, ia ingin penangkarannya juga berfungsi sebagai usaha pelestarian. Dalam satu musim, ia bisa menghasilkan rata-rata 75-100 kepompong O.priamus. Dari jumlah ini, sebanyak 40-50 persen kupu-kupu yang jadi akan dilepas ke hutan. Selain untuk menjaga populasi di alam liar, juga untuk menjaga keragaman genetik. “Saya lihat di sekitar sini saja hutan semakin berkurang, kalau nggak ada usaha penangkaran, lama-lama punah,” ujarnya.
Di luar kesibukannya di penangkaran, ia juga sering menemani penggemar kupu-kupu dari mancanegara yang datang ke Indonesia. “Kadang saya bawa ke hutan-hutan di pulau Seram sana, suka sekali mereka.”
Baca Juga: Dunia Hewan: Otak Besar Kupu-Kupu Membantu Adaptasi Bertahan Hidup
Perdebatan Sengit Peneliti tentang Benarkah Orang-Orang di Zona Biru Hidup Lebih Lama
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR