“Kupu-kupu itu sensitif sekali dengan kondisi habitatnya. Jadi sebenarnya kalau hutan masih bagus, mereka diambil berapa ekor pun nggak akan punah. Tapi kalau hutan terus dihabisi, baru itu masalah.”
Ia sendiri mengaku punya kekhawatiran terhadap kepunahan kupu-kupu. “Kayaknya sepuluh tahun lalu lah, di pinggir-pinggir jalan besar sana banyak (kupu-kupu), saat itu bahkan harganya murah," ungkapnya. "Sekarang sudah nyaris nggak ada.”
Apa yang dirasakannya adalah contoh kecil dari fenomena penurunan populasi serangga yang sedang terjadi secara global.
Djunijanti Peggie, ahli lepidoptera Badan Riset dan Inovasi Nasional dan pendiri Kupunesia, menyatakan ancaman terbesar terhadap populasi kupu-kupu adalah alih fungsi hutan.
“Hidup kupu-kupu sangat tergantung tumbuhan inang, karena seringkali asosiasi kupu-kupu dengan tumbuhan sangat spesifik. Hutan rusak, mereka nggak bisa bertelur. Sedangkan kalau perdagangan, karena siklus hidup kupu-kupu singkat, jadi sebetulnya diambil atau tidak, dia akan mati.”
Ia melanjutkan, “Tapi bukan berarti saya bilang aman untuk ambil membabi buta, ya. Kalau itu spesies dilindungi dan endemik, risikonya ya pelakunya berhadapan dengan regulasi.”
Tahun 2022 lalu, Reuters mengungkap bahwa sekitar 5-10 persen dari sekitar 1 juta spesies serangga telah hilang dalam 150 tahun terakhir. Penurunan populasi ini terhubung dengan alasan kompleks dan masalah yang saling tumpang tindih. Faktanya, serangga yang mayoritas berukuran kecil itu harus berhadapan dengan deforestasi, alih fungsi lahan, pertanian industrial, pestisida, polusi cahaya, perburuan ilegal, hingga ancaman krisis iklim yang terus memburuk. Sementara itu, Population Review mencatat Indonesia menjadi negara ke-2 dengan tingkat deforestasi terparah pada 2024, di bawah Brasil. Fakta ini semakin menyedihkan karena daerah dengan deforestasi tertinggi juga merupakan rumah bagi banyak spesies kupu-kupu endemik, yaitu Papua dan Maluku. Penurunan ini diprediksi terus berlanjut meski dengan perkiraan bervariasi karena penelitian yang kurang.
Salah satu contoh kasus yang sudah diteliti WWF (World Wildlife Fund) adalah penurunan populasi kupu-kupu raja (monarch butterfly) hingga mencapai 26 persen karena kenaikan suhu dan krisis iklim pada 2021 lalu. Hingga 2010 lalu, IUCN juga mencatat hampir sepertiga populasi kupu-kupu asli Eropa menurun secara signifikan. Sementara, peneliti di Indonesia sendiri tak punya data atau penelitian terbaru soal tren populasi kupu-kupu dan hubungannya dengan krisis iklim ini.
Daawia, ahli biologi yang juga pengelola Laboratorium Koleksi Serangga Papua (KSP) di Universitas Cendrawasih mengungkapkan bahwa studi soal kupu-kupu di Indonesia masih sangat minim. “Seharusnya kalau sudah ada database sebelum krisis iklim, tinggal kita bandingkan, tapi sekarang kita mau compare dengan apa? Datanya kita nggak punya,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Bisa saja sudah banyak spesies yang hilang duluan sebelum sempat kita teliti. Ketiadaan data ini membuat kita tidak tahu kita ini punya apa dan kehilangan apa.”
Padahal, kupu-kupu dan serangga lain memegang peran krusial dalam membentuk jaring kehidupan (web of life) karena peran sentral mereka dalam rantai makanan di alam liar. Hewan-hewan seperti burung, reptil, dan mamalia menjadikan serangga sebagai sumber pangan. Di alam, sekitar 80 persen tumbuhan liar mengandalkan serangga sebagai polinator. Beberapa bunga bahkan punya asosiasi yang sangat spesifik dan berevolusi mengikuti bentuk tubuh serangga. Misalnya, bunga soka yang berbentuk tabung cuma bisa dipolinasi oleh kupu-kupu karena serangga lain tidak mempunyai probosis yang cukup panjang. Hilangnya satu spesies akan berdampak atau bahkan menghancurkan kehidupan seluruh spesies lain.
Jika penurunan ini terus berlangsung, bukan tak mungkin Egy akan terkena dampaknya. “Kalau berkurang mungkin tidak terhindarkan ya, tapi kalau punah jangan lah. Sakit hati juga kalau hutan dihabiskan. Makanya penangkaran itu kami pingin jadi sanctuary juga karena banyak pakan ulat dan kupu-kupu juga di sana,” ujarnya.
Di salah satu sudut kandang, ia mengajak saya menengok ke dalam ruang steril yang berfungsi untuk menetaskan kepompong kupu-kupu sayap burung. Metode yang ia temukan setelah uji coba berulang kali ini terbukti ampuh meningkatkan kemungkinan kupu-kupu menetas sempurna. Menurutnya, proses transformasi sempurna O.priamus butuh waktu sekitar tiga-empat bulan. Di habitat aslinya, kupu-kupu ini termasuk punya umur panjang, yaitu mencapai tiga bulan.
Pagi itu saya menyaksikan satu kupu-kupu muda menetas dan merangkak keluar dari samadinya dalam kepompong. Dari dekat saya bisa melihat betapa simetris dan cemerlangnya warna sayap kupu-kupu ini. Dominasi warna hijau neon dan hitam di sayap, dengan aksen kuning di abdomen serta secuil merah seperti rompi di thorax, membuat kupu-kupu ini tampak royal. Untuk sesaat, saya nyaris mengerti kenapa kolektor kupu-kupu sejak jaman Victoria hingga sekarang berbondong-bondong memburunya dengan harga mahal.
Menurutnya, usaha penangkaran dengan kuota pelepasliaran ini adalah cara yang ia tahu paling manjur supaya usaha bisnis dan pelestariannya bisa berkelanjutan. “Kalau hutan habis, enggak cuma kupu-kupu yang habis, tapi kita pun juga habis,” tutupnya.
Titah AW jurnalis dan penulis lepas yang kerap melaporkan secara mendalam tentang ekologi, budaya, dan realisme magis. Kurniadi Widodo seorang pendidik dan fotografer yang aktif dalam edukasi fotografi. Keduanya berbasis di Kota Yogyakarta.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR