Kisah Titah AW dan fotografer Kurniadi Widodo ini didukung oleh Pulitzer Center Rainforest Reporting Grant.
Nationalgeographic.co.id—Mewarisi sepetak lahan dan pengetahuan soal kupu-kupu dari ayahnya, kini kandang penangkaran di hutan ini menjadi sumber hidup sekaligus usaha konservasi kupu-kupu sayap burung di sekitarnya.
“Di hutan, mereka itu terbangnya tinggi di atas-atas pohon, kalau nggak tahu pasti mengira itu burung, padahal kupu-kupu,” ujar Egy.
Egy McDelly (43) bercerita kepada saya. Kami sedang berada dalam kandang kupu-kupu di penangkaran miliknya, sekitar 30 kilometer dari kota Ambon. Rute menuju kesini musti melalui jalan tanah berlumpur yang cuma bisa dilalui motor, dilanjutkan berjalan kaki sekitar 10 kilometer memasuki area hutan.
Di area seluas tiga hektar di tengah hutan ini, Egy menanam berbagai macam bunga dan tumbuhan inang seperti soka, pagoda, bugenvil, dan nusa indah. Besar kandang kupu-kupu di sini ini nyaris seluas lapangan futsal, berdinding kawat berlapis paranet hitam transparan. Di dalamnya, daun sirih hutan (Aristolochia) yang merupakan tumbuhan inang kupu-kupu menjalar pada tiang-tiang yang dipasang. Dengan tinggi mencapai 8 meter, kandang ini lebih cocok diisi gajah ketimbang kupu-kupu, batin saya.
“Itu, di atas, lihat!,” Egy memberi komando, tangannya menunjuk ke atas, saya ikut mendongak.
Jauh, hampir di pojok kandang, sesuatu berkepak-kepak cepat, mirip burung tapi bukan.
“Itu dia Ornithoptera priamus, sekarang salah satu yang paling diburu kolektor” jelas Egy lagi. Terbantu oleh cahaya matahari, sekilas saya melihat sayap hijau yang berkilat-kilat megah, seperti kelopak bunga yang terbang. Indah. Ornithoptera priamus atau Common Green Birdwing Butterfly adalah salah satu spesies utama yang dikembangbiakkan Egy di penangkaran miliknya. “Kami memang fokus ke kupu-kupu sayap burung,” tambahnya.
O.priamus merupakan satu dari 12 spesies kupu-kupu sayap burung yang cuma bisa ditemukan di kawasan Australasia, termasuk Papua dan Maluku. Disebut sayap burung karena bentang sayapnya terhitung raksasa jika dibanding kupu-kupu biasa dan gaya terbangnya lebih mirip burung. Di Indonesia, semua spesies kupu-kupu sayap burung termasuk hewan dilindungi.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah memasukkan kupu-kupu sayap burung ke daftar merah, bahkan spesies O.Aesacus yang endemik di Pulau Obi, kini berstatus rentan (vulnerable). Namun di saat yang sama, spesies ini juga masuk dalam daftar appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Artinya, bisa diperjualbelikan dengan memenuhi syarat dan izin tertentu, salah satunya merupakan hasil penangkaran.
Baca Juga: Kupu-kupu Jadi Pertanda Lingkungan Sehat, Bagaimana di Tempatmu?
Egy sendiri adalah pemasok awetan kupu-kupu untuk kolektor di berbagai negara. Ia mewarisi usaha ini dari ayahnya pada 2021 lalu. “Makanya saya bikin penangkaran, supaya nggak tangkap liar. Suatu hari saya pingin bikin penangkaran ini jadi kawasan wisata biar orang bisa datang melihat kupu-kupu hidup,” ia mulai bercerita.
“Sejak kecil sampai sekarang, hidup saya ya memang dari kupu-kupu,” ujar Egy.
Meky McDelly, ayahnya, merupakan salah satu orang Indonesia pertama yang merintis jejaring dengan kolektor serangga di seluruh dunia. “Tahun 1971, ayah kenalan sama kolektor dari Jepang yang sering berburu kupu-kupu di Maluku. Akhirnya ikut masuk hutan cari kupu-kupu. Pas itu belum ada orang Indonesia yang tahu jual kupu-kupu, ayah yang pertama,” ungkapnya.
Egy yang saat itu masih kecil pun sering menghabiskan waktunya membuntuti ayahnya bekerja. Termasuk pada 1992 ketika ayahnya membeli dan membangun penangkaran ini. Momen-momen inilah yang membuatnya jatuh suka, dan mulai mempelajari pengetahuan seputar kupu-kupu secara otodidak. Maka tak heran melihatnya berperan seperti ensiklopedia berjalan ketika menemani kami berkeliling di habitat kupu-kupu di sekitar penangkarannya.
“Sebenarnya di sini juga ada kumbang, tapi saya tidak suka. Saya suka kupu-kupu karena melihat proses transformasi mereka dari ulat bisa jadi indah begitu,” jelasnya bersemangat.
Tak sampai 50 meter dari kandang, sebuah pondokan sederhana berdiri. Pondok ini adalah tempat istirahat, sekaligus tempat tinggal Egy dan karyawannya ketika merawat kupu-kupu dan harus menginap hingga berhari-hari. Meski tak terjangkau listrik dan sinyal, area yang berada dekat sungai dan batas hutan ini adalah habitat ideal bagi kupu-kupu.
Untuk mengelola penangkaran ini, saat ini Egy juga dibantu oleh keponakannya Carlos McDelly (31). Bersama beberapa karyawan, Carlos bertugas untuk memastikan sirih hutan dan bunga-bunga terus tersedia, mengawasi telur, hingga merawat kepompong. “Saya ikut paman kerja di sini, hitung-hitung meneruskan warisan keluarga,” ujarnya.
Seperti Egy yang mempelajari ilmu soal kupu-kupu dari ayahnya, Carlos pun kini mendapat pengetahuan itu dari Egy. “Semuanya saya pelajari dari ayah dan teman-temannya. Paling yang berbeda, kalau dulu ayah maunya penangkaran terbuka jadi tidak pakai kandang, tapi karena situasi hutan sekarang tidak aman, jadi saya bikin kandang.”
Awalnya, penangkaran ini memang dibuat Egy dan ayahnya untuk memenuhi syarat perizinan jual beli satwa yang ditetapkan oleh KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Namun sejak merasakan sendiri bagaimana dampak pembabatan hutan hutan dekat penangkaran oleh perusahaan tambang pasir yang dibarengi penurunan populasi kupu-kupu, ia ingin penangkarannya juga berfungsi sebagai usaha pelestarian. Dalam satu musim, ia bisa menghasilkan rata-rata 75-100 kepompong O.priamus. Dari jumlah ini, sebanyak 40-50 persen kupu-kupu yang jadi akan dilepas ke hutan. Selain untuk menjaga populasi di alam liar, juga untuk menjaga keragaman genetik. “Saya lihat di sekitar sini saja hutan semakin berkurang, kalau nggak ada usaha penangkaran, lama-lama punah,” ujarnya.
Di luar kesibukannya di penangkaran, ia juga sering menemani penggemar kupu-kupu dari mancanegara yang datang ke Indonesia. “Kadang saya bawa ke hutan-hutan di pulau Seram sana, suka sekali mereka.”
Baca Juga: Dunia Hewan: Otak Besar Kupu-Kupu Membantu Adaptasi Bertahan Hidup
“Kupu-kupu itu sensitif sekali dengan kondisi habitatnya. Jadi sebenarnya kalau hutan masih bagus, mereka diambil berapa ekor pun nggak akan punah. Tapi kalau hutan terus dihabisi, baru itu masalah.”
Ia sendiri mengaku punya kekhawatiran terhadap kepunahan kupu-kupu. “Kayaknya sepuluh tahun lalu lah, di pinggir-pinggir jalan besar sana banyak (kupu-kupu), saat itu bahkan harganya murah," ungkapnya. "Sekarang sudah nyaris nggak ada.”
Apa yang dirasakannya adalah contoh kecil dari fenomena penurunan populasi serangga yang sedang terjadi secara global.
Djunijanti Peggie, ahli lepidoptera Badan Riset dan Inovasi Nasional dan pendiri Kupunesia, menyatakan ancaman terbesar terhadap populasi kupu-kupu adalah alih fungsi hutan.
“Hidup kupu-kupu sangat tergantung tumbuhan inang, karena seringkali asosiasi kupu-kupu dengan tumbuhan sangat spesifik. Hutan rusak, mereka nggak bisa bertelur. Sedangkan kalau perdagangan, karena siklus hidup kupu-kupu singkat, jadi sebetulnya diambil atau tidak, dia akan mati.”
Ia melanjutkan, “Tapi bukan berarti saya bilang aman untuk ambil membabi buta, ya. Kalau itu spesies dilindungi dan endemik, risikonya ya pelakunya berhadapan dengan regulasi.”
Tahun 2022 lalu, Reuters mengungkap bahwa sekitar 5-10 persen dari sekitar 1 juta spesies serangga telah hilang dalam 150 tahun terakhir. Penurunan populasi ini terhubung dengan alasan kompleks dan masalah yang saling tumpang tindih. Faktanya, serangga yang mayoritas berukuran kecil itu harus berhadapan dengan deforestasi, alih fungsi lahan, pertanian industrial, pestisida, polusi cahaya, perburuan ilegal, hingga ancaman krisis iklim yang terus memburuk. Sementara itu, Population Review mencatat Indonesia menjadi negara ke-2 dengan tingkat deforestasi terparah pada 2024, di bawah Brasil. Fakta ini semakin menyedihkan karena daerah dengan deforestasi tertinggi juga merupakan rumah bagi banyak spesies kupu-kupu endemik, yaitu Papua dan Maluku. Penurunan ini diprediksi terus berlanjut meski dengan perkiraan bervariasi karena penelitian yang kurang.
Salah satu contoh kasus yang sudah diteliti WWF (World Wildlife Fund) adalah penurunan populasi kupu-kupu raja (monarch butterfly) hingga mencapai 26 persen karena kenaikan suhu dan krisis iklim pada 2021 lalu. Hingga 2010 lalu, IUCN juga mencatat hampir sepertiga populasi kupu-kupu asli Eropa menurun secara signifikan. Sementara, peneliti di Indonesia sendiri tak punya data atau penelitian terbaru soal tren populasi kupu-kupu dan hubungannya dengan krisis iklim ini.
Daawia, ahli biologi yang juga pengelola Laboratorium Koleksi Serangga Papua (KSP) di Universitas Cendrawasih mengungkapkan bahwa studi soal kupu-kupu di Indonesia masih sangat minim. “Seharusnya kalau sudah ada database sebelum krisis iklim, tinggal kita bandingkan, tapi sekarang kita mau compare dengan apa? Datanya kita nggak punya,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Bisa saja sudah banyak spesies yang hilang duluan sebelum sempat kita teliti. Ketiadaan data ini membuat kita tidak tahu kita ini punya apa dan kehilangan apa.”
Padahal, kupu-kupu dan serangga lain memegang peran krusial dalam membentuk jaring kehidupan (web of life) karena peran sentral mereka dalam rantai makanan di alam liar. Hewan-hewan seperti burung, reptil, dan mamalia menjadikan serangga sebagai sumber pangan. Di alam, sekitar 80 persen tumbuhan liar mengandalkan serangga sebagai polinator. Beberapa bunga bahkan punya asosiasi yang sangat spesifik dan berevolusi mengikuti bentuk tubuh serangga. Misalnya, bunga soka yang berbentuk tabung cuma bisa dipolinasi oleh kupu-kupu karena serangga lain tidak mempunyai probosis yang cukup panjang. Hilangnya satu spesies akan berdampak atau bahkan menghancurkan kehidupan seluruh spesies lain.
Jika penurunan ini terus berlangsung, bukan tak mungkin Egy akan terkena dampaknya. “Kalau berkurang mungkin tidak terhindarkan ya, tapi kalau punah jangan lah. Sakit hati juga kalau hutan dihabiskan. Makanya penangkaran itu kami pingin jadi sanctuary juga karena banyak pakan ulat dan kupu-kupu juga di sana,” ujarnya.
Di salah satu sudut kandang, ia mengajak saya menengok ke dalam ruang steril yang berfungsi untuk menetaskan kepompong kupu-kupu sayap burung. Metode yang ia temukan setelah uji coba berulang kali ini terbukti ampuh meningkatkan kemungkinan kupu-kupu menetas sempurna. Menurutnya, proses transformasi sempurna O.priamus butuh waktu sekitar tiga-empat bulan. Di habitat aslinya, kupu-kupu ini termasuk punya umur panjang, yaitu mencapai tiga bulan.
Pagi itu saya menyaksikan satu kupu-kupu muda menetas dan merangkak keluar dari samadinya dalam kepompong. Dari dekat saya bisa melihat betapa simetris dan cemerlangnya warna sayap kupu-kupu ini. Dominasi warna hijau neon dan hitam di sayap, dengan aksen kuning di abdomen serta secuil merah seperti rompi di thorax, membuat kupu-kupu ini tampak royal. Untuk sesaat, saya nyaris mengerti kenapa kolektor kupu-kupu sejak jaman Victoria hingga sekarang berbondong-bondong memburunya dengan harga mahal.
Menurutnya, usaha penangkaran dengan kuota pelepasliaran ini adalah cara yang ia tahu paling manjur supaya usaha bisnis dan pelestariannya bisa berkelanjutan. “Kalau hutan habis, enggak cuma kupu-kupu yang habis, tapi kita pun juga habis,” tutupnya.
Titah AW jurnalis dan penulis lepas yang kerap melaporkan secara mendalam tentang ekologi, budaya, dan realisme magis. Kurniadi Widodo seorang pendidik dan fotografer yang aktif dalam edukasi fotografi. Keduanya berbasis di Kota Yogyakarta.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR