Teka-teki masalah tersebut dapat diselesaikan menggunakan proses mental yang sama seperti pada set pertama.
Kemudian ada jeda dua jam, saat 28 peserta diminta tidur selama 110 menit, sementara 30 peserta lainnya diminta untuk tetap terjaga.
Peserta yang tidur siang diukur waktu REM-nya menggunakan headset EEG saat mereka tidur.
Setelah jeda, percobaan dilanjutkan dengan memberikan kesempatan kepada semua peserta untuk melihat kembali soal-soal yang gagal mereka pecahkan pada set kedua.
Mereka yang tidur siang ditemukan lebih baik dalam memecahkan masalah yang awalnya membingungkan mereka.
Kemampuan mereka dalam memecahkan masalah ini kemudian dikaitkan dengan jumlah tidur sampai fase REM yang mereka lalui.
Padahal sebelum istirahat, peserta yang tidur siang dan yang tidak tidur siang memiliki skor yang sama dalam pemecahan masalah.
Peserta yang tidur siang juga lebih baik dibanding kelompok yang tidak tidur siang dalam hal memperhatikan kesamaan antara masalah pada set pertama dan kedua.
Dalam penelitian ilmiah tersebut, peneliti menulis bahwa hasil ini menunjukkan bahwa tidur meningkatkan kemampuan memecahkan masalah yang awalnya tidak dapat dipecahkan dan menunjukkan bahwa tidur REM meningkatkan penggunaan transfer analogis dengan menyoroti kesamaan antara masalah pada set pertama dan kedua yang tidak disadari sebelum tidur siang.
Kita tidak dapat memastikan adanya hubungan sebab dan akibat secara langsung di sini, tetapi ada hubungan yang kuat.
Temuan ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa tidur dikaitkan dengan keterampilan pemecahan masalah yang lebih baik, dan ketangkasan mental yang lebih baik dalam berbagai bidang.
Mengenai faktor tidur REM, para peneliti berpikir bahwa cara tahap tidur ini membantu kita menghubungkan memori baru dengan memori lama dapat bermanfaat untuk jenis pemecahan masalah ini, saat keterampilan yang ada perlu diingat kembali.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR