Sepanjang hidupnya, seekor paus rata-rata dapat menyimpan sekitar 33 ton karbon, jauh lebih banyak dibanding pohon ek yang hanya mampu menyimpan sekitar 12 ton karbon. Hal ini disebabkan oleh ukuran tubuh paus yang besar serta usia mereka yang panjang.
Sebagai predator puncak, paus mengakumulasi karbon dengan memangsa organisme dari tingkat trofik lebih rendah yang kaya karbon. Saat mereka mati, tubuhnya tenggelam ke dasar laut, di mana karbon tersebut dapat tersimpan selama berabad-abad hingga ribuan tahun.
Ketika bangkai paus membusuk, sebagian karbon terserap ke dalam sedimen laut, menguncinya secara permanen. Sementara itu, organisme laut dalam memanfaatkan bangkai tersebut sebagai sumber makanan, mendaur ulang sebagian karbon dalam ekosistem laut, sehingga mencegah pelepasannya kembali ke atmosfer sebagai karbon dioksida.
Di Bawah Ancaman
Kisah paus sebagai raksasa penguasa lautan, kini tinggal cerita. Hidup mereka semakin rentan akibat ulah manusia.
Meskipun memiliki peran vital dalam mitigasi iklim dan kesehatan ekosistem, paus menghadapi tantangan besar yang mengancam kelangsungan hidup mereka, mulai dari konsumsi plastik, polusi suara, perubahan iklim, hingga perburuan paus.
Plastik yang tertelan dapat menyebabkan gangguan pencernaan, paparan bahan kimia beracun, dan berbagai masalah kesehatan serius lainnya. Selain itu, ketika organisme laut yang lebih kecil menelan plastik, racun yang terkandung di dalamnya menumpuk di sepanjang rantai makanan, sehingga paus menerima dampaknya dalam konsentrasi yang lebih tinggi.
Paus sangat bergantung pada sistem pendengarannya untuk navigasi, komunikasi, mencari makan, dan berkembang biak. Oleh karena itu, polusi suara akibat aktivitas manusia—seperti lalu lintas kapal, sonar, dan eksplorasi seismik—menjadi ancaman serius yang dapat berujung pada kematian.
Polusi suara terbukti mengganggu komunikasi, migrasi, serta perilaku kawin paus, sekaligus menyebabkan stres jangka panjang. Dalam beberapa kasus, paparan suara berlebihan dapat menyebabkan pendarahan otak dan dikaitkan dengan insiden paus terdampar di pantai.
Selain itu, perubahan iklim yang semakin cepat turut mengancam kelangsungan hidup paus dengan mengubah jalur migrasi, merusak habitat, dan meningkatkan risiko penyakit. Meskipun Komisi Perburuan Paus Internasional telah melarang perburuan paus komersial sejak 1986, negara-negara seperti Jepang, Norwegia, dan Islandia masih membunuh lebih dari 40.000 paus, menghambat upaya pemulihan populasi mereka.
Penurunan populasi paus menciptakan dampak berantai bagi ekosistem laut dan mempercepat perubahan iklim. Dengan makin sedikitnya paus, siklus nutrisi terganggu, yang berdampak pada penurunan pertumbuhan fitoplankton. Padahal, fitoplankton berperan penting dalam menyerap karbon dan menjadi sumber makanan utama bagi banyak spesies laut.
Gangguan ini tidak hanya mempengaruhi jaringan makanan laut, tetapi juga keseimbangan iklim global. Oleh karena itu, langkah-langkah perlindungan yang lebih kuat dan tindakan segera diperlukan untuk memastikan kelangsungan hidup paus dan ekosistem laut.
Seperti yang dikatakan oleh penyiar dan ahli biologi terkenal, David Attenborough: "Untuk mengembalikan stabilitas planet kita, kita harus memulihkan keanekaragaman hayati—sesuatu yang telah kita hilangkan. Ini adalah satu-satunya jalan keluar dari krisis yang kita ciptakan. Kita harus menghidupkan kembali alam."
Source | : | Earth.org |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR