"Jadi bagi orang Tenganan, kalau enggak ganggu, dia (kalajengking) enggak akan diganggu. Hutan adatnya jangan coba-coba diganggu, karena mereka kaya punya 917.000 hektare tanah ulayat yang 500.000 di antaranya itu hutan adat yang memberikan mereka food security dan water availability," papar Etty.
"Karena lembaga adatnya terjaga dengan baik, kuat ritualnya juga, berjalan dengan tenun gringsing ini (wayang putri) sebagai masterpiece yang dipakai untuk upacara semua ritual."
Dosen Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM G.R. Lono Lastro bertestimoni atas hasil temuan Etty. Menurutnya, temuan ini menandakan bahwa materi, dalam hal ini kain, merupakan produk buatan manusia yang dapat dilihat lebih dari sekadar nilai ekonomi. Proses panjang dan keterlibatan banyak pihak merupakan pengorbanan melampaui ruang dan waktu sebagai nilai spiritualitas.
“Gringsing adalah agen material yang memiliki kapasitas untuk membentuk pengalaman manusia,” ujar Lono. Dengan demikian, dalam kajian kebudayaan dan keagamaan, manusia dan materi bisa secara aktif saling terhubung.
Etty menegaskan, memang saat ini banyak kain wastra yang meniru dengan motif ekonomi. Kain tiruan kerap menggunakan pewarnaan kimia. Namun, tiruan wastra seperti pada kain tenun gringsing bukanlah hal yang bermasalah selama penggunaannya untuk kehidupan seharian.
Menggunakan wastra, apa pun jenisnya, seharusnya pemakai mempelajari makna di baliknya. Karena ada nilai sakral bagi masyarakat adat yang menjadi perajin, kain wastra tiruan tidak boleh dipakai saat kegiatan ritual.
Baca Juga: Kompetisi Desain Motif Batik Lasem Berakhir Buahkan Wastra Klasik
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR