Melalui analisis fitur antena nyamuk — khususnya susunan dan morfologi rambut sensorik — professor Zavattieri dan konstruksi sekaligus peneliti tim Phani Saketh Dasika (MSCE ’23) mengatakan bahwa mereka telah memperoleh wawasan mendalam tentang bagaimana adaptasi ini meningkatkan kepekaan pendengaran dan respons selektif terhadap isyarat lingkungan.
“Dengan menggunakan pencitraan mikro-CT canggih untuk membuat model CAD fidelitas tinggi untuk analisis elemen, kami menemukan bahwa fitur arsitektur antena nyamuk memungkinkan deteksi target akustik khusus spesies dan jenis kelamin, bahkan di tengah sinyal nontarget seperti kepakan sayapnya sendiri,” kata Dasika.
Ia juga menambahkan, “Temuan kami juga menunjukkan bahwa antena nyamuk mampu mendeteksi rentang frekuensi yang lebih luas daripada yang diperkirakan sebelumnya, meskipun tidak semua frekuensi ini dapat digunakan secara aktif.”
“Bayangkan lingkungan perkotaan yang dilengkapi dengan sensor yang terinspirasi dari biologi, mirip dengan ‘telinga besar’, yang mampu membedakan suara tertentu di tengah hiruk pikuk kehidupan kota,” kata Zavattieri.
“Pada saat krisis — seperti gempa bumi atau bencana lainnya — sensor ini menjadi sangat berharga, dengan cepat mendeteksi sinyal-sinyal samar tentang bahaya dan mengarahkan upaya penyelamatan kepada mereka yang membutuhkan.”
Material ini juga, menurut Zavattieri, berpotensi menggabungkan saluran mikrofluida atau metamaterial yang dapat disetel. Dengan begitu dapat digunakan untuk membuat panel kedap suara untuk bangunan, headphone peredam kebisingan, atau bahkan perangkat penyembunyian akustik.
Saat ini, tim peneliti sedang fokus pada pembuatan ulang antena melalui pencetakan 3D, menggunakan berbagai bahan dan berbagai ukuran untuk pengujian frekuensi.
Source | : | SciTechDaily |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR