Kucing menghasilkan feromon dari kelenjar khusus yang tersebar di berbagai area tubuh mereka. Taylor menyebutkan beberapa lokasi kelenjar feromon ini, antara lain di dagu, pipi, ruang antara mata dan telinga, tepi bibir, pangkal ekor, sekitar alat kelamin dan anus, di antara kaki, dan bahkan di antara puting susu.
Ketika kucing menggosokkan wajahnya pada furnitur, mencakar permukaan, menyemprotkan urin, atau buang air besar, sebenarnya mereka sedang meninggalkan pesan-pesan kimia berupa feromon untuk kucing lain.
Delgado menjelaskan bahwa kucing lain kemudian akan menganalisis tanda aroma ini menggunakan organ vomeronasal mereka untuk mengumpulkan informasi tentang kucing yang meninggalkan pesan tersebut.
Proses respons Flehmen memungkinkan molekul feromon masuk ke dalam mulut kucing, baik melalui jilatan maupun tarikan napas, dan kemudian larut dalam air liur. Selanjutnya, molekul-molekul ini bergerak melalui dua saluran di langit-langit mulut yang disebut saluran nasopalatina, menuju sepasang kantung berisi cairan yang membentuk organ vomeronasal.
Taylor menjelaskan bahwa ketika molekul feromon mencapai organ vomeronasal, mereka memicu sinyal saraf yang bergerak ke area spesifik di otak kucing, yaitu wilayah amigdala hipotalamus dan wilayah yang mengontrol perilaku seksual, makan, dan sosial. Dengan cara ini, isyarat kimia yang ditangkap oleh organ vomeronasal memiliki pengaruh langsung terhadap perilaku kucing.
Salah satu perbedaan mendasar antara feromon dan bau biasa adalah bahwa respons terhadap feromon bersifat naluriah dan tidak dipelajari. Kucing tidak perlu belajar untuk memahami arti feromon karena pengetahuan ini sudah tertanam kuat dalam biologi mereka.
Taylor menegaskan bahwa respons feromon bersifat otomatis, meskipun faktor-faktor seperti perkembangan kucing, lingkungan sekitar, pengalaman masa lalu, dan kondisi internal seperti kadar hormon juga dapat memengaruhi respons ini, seperti yang dijelaskan dalam sebuah ulasan di Journal of Comparative Physiology A.
Menariknya, organ vomeronasal tidak hanya dimiliki oleh kucing. Berbagai jenis hewan lain, mulai dari hewan pengerat hingga reptil, juga memanfaatkan indra penciuman kedua ini untuk mendeteksi feromon.
Jonathan Losos, seorang ahli biologi evolusi di Washington University di St. Louis, menjelaskan bahwa keunggulan organ Jacobson adalah memungkinkan hewan untuk mendeteksi beragam molekul di lingkungan, dibandingkan dengan hewan yang tidak memiliki organ ini.
Losos menambahkan bahwa meskipun anjing terkenal dengan indra penciuman mereka yang tajam melalui saluran hidung, kucing memiliki tiga kali lebih banyak jenis detektor aroma yang berbeda di organ Jacobson dibandingkan anjing.
Hal ini membuat beberapa ahli berpendapat bahwa secara keseluruhan, indra penciuman kucing mungkin sebanding dengan anjing. Bahkan, sisa evolusi organ vomeronasal juga ditemukan pada manusia di septum hidung, meskipun belum ada bukti kuat bahwa organ vestigial ini berperan dalam komunikasi kimia pada manusia modern.
Bagi kucing, organ vomeronasal adalah alat yang sangat penting yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan informasi sosial yang krusial di lingkungan mereka. Seperti yang pernah diungkapkan oleh novelis dan penyair Skotlandia, Sir Walter Scott, "Kucing adalah jenis orang yang misterius. Ada lebih banyak yang terjadi di pikiran mereka daripada yang kita sadari."
KOMENTAR