Hubungan antara migrain dan cuaca pun belum sepenuhnya jelas. Dalam penelitian awal, Becker menemukan adanya kaitan antara gejala migrain dan angin Chinook, yaitu angin barat hangat yang bertiup kencang di wilayah barat laut Amerika Serikat dan Kanada.
Angin ini seringkali disertai dengan penurunan tekanan udara yang tiba-tiba. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa sekitar 30-40 persen pasien migrain lebih mungkin mengalami serangan migrain sehari sebelum atau saat angin Chinook bertiup.
Namun, penelitian-penelitian lain belum berhasil menemukan hubungan yang konsisten antara cuaca dan migrain, sehingga gambaran yang ada menjadi kurang jelas.
Jan Hoffmann, seorang ahli saraf dan spesialis migrain di King's College London, menduga bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa pemicu migrain tidak selalu menyebabkan migrain.
Ada banyak sekali pemicu migrain yang diketahui, seperti kurang tidur atau berhenti mengonsumsi kafein, yang umumnya terkait dengan perubahan mendadak dalam rutinitas sehari-hari.
Namun, pemicu-pemicu ini hanya meningkatkan kemungkinan terjadinya migrain, sehingga tidak berarti bahwa hujan badai pasti akan menyebabkan migrain.
Mekanisme biologis yang menghubungkan perubahan tekanan udara dengan migrain juga belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan penelitian pada hewan rodensia, para ahli menduga bahwa perubahan tekanan udara dapat meningkatkan aktivitas di area tertentu dalam otak.
Selain itu, penelitian lain menunjukkan bahwa perubahan tekanan di telinga tengah dapat meningkatkan aktivitas otak di area yang mengatur koordinasi dan keseimbangan.
Ada juga teori yang menyatakan bahwa perubahan tekanan udara dapat menyempitkan pembuluh darah dan mengubah aliran darah ke otak, yang dapat memperparah gejala sakit kepala.
Hoffmann berpendapat bahwa perubahan tekanan udara mungkin menjadi penyebab utama migrain memburuk saat cuaca buruk.
Namun, ia juga menambahkan bahwa sulit untuk memisahkan pengaruh tekanan udara, suhu, dan kelembaban, karena ketiganya biasanya berubah secara bersamaan.
Baca Juga: Analisis Ilmiah Mendalam: Ternyata Evolusi Itu Sendiri Bisa Berevolusi
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR