Ia diperkirakan baru berusia 20 hingga 25 tahun saat meninggal, antara 2.200 dan 2.050 tahun yang lalu. Para arkeolog kemudian dibuat penasaran dengan jejak warna merah yang ditemukan pada giginya.
Ada beberapa zat berbeda yang dapat digunakan sebagai pigmen merah, termasuk cinnabar, hematite, dan oker, sehingga mereka harus melakukan pengujian untuk mengetahui zat apa itu.
Mereka menggunakan spektroskopi Raman untuk mengidentifikasi zat tersebut sebagai cinnabar, dan spektroskopi fluoresensi sinar-X untuk mengonfirmasi identifikasi, dan menghindari kemungkinan kontaminasi lingkungan.
Analisis spektroskopi inframerah transformasi Fourier (FTIR) – metode yang banyak digunakan dalam penelitian – kemudian mengidentifikasi keberadaan zat protein yang mungkin digunakan untuk mengikat warna pada gigi.
Tidak diketahui secara pasti dari apa bahan pengikat ini dibuat, tetapi bahan pengikat seperti itu di Tiongkok kuno relatif umum, dan biasanya terdiri dari bahan hewani, seperti kolagen, putih telur, atau susu.
Tidak jelas pula mengapa wanita muda itu mewarnai giginya dengan warna merah. Warna merah sendiri telah lama dianggap sebagai warna penting dan membawa keberuntungan di Tiongkok. Praktik tersebut mungkin memiliki alasan spiritual.
Para peneliti mengatakan cinnabar memiliki peran yang cukup menonjol dalam praktik perdukunan, serta pengobatan tradisional, dan memiliki sifat psikoaktif yang mungkin membuatnya berguna sebagai halusinogen.
Di sisi lain, alasan wanita muda itu mewarnai giginya mungkin karena alasan kecantikan, karena gigi yang menghitam kemudian menjadi populer di seluruh Asia Tenggara dan Oseania.
Gigi merah wanita itu mungkin menunjukkan status, seperti yang ditunjukkan oleh makamnya di permakaman tersebut.
Hal ini ditegaskan oleh fakta bahwa cinnabar bukanlah komoditas lokal. Tidak ada endapan alami cinnabar di wilayah tempat wanita itu dimakamkan, jadi cinnabar pasti telah diperdagangkan. Sumber cinnabar terdekat adalah Tiongkok Tengah, Timur Dekat, dan Eropa.
"Mengingat distribusi geografis cinnabar dan identitas penggunanya, identitas sosial pemilik makam mungkin cukup tidak biasa untuk mengakses sumber daya yang berharga ini," tulis para peneliti.
Lebih lanjut, diperlukan lebih banyak penyelidikan dan penemuan untuk menguji hipotesis ini.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR