Nationalgeographic.co.id—Di era yang didefinisikan oleh konektivitas global, mudah untuk melupakan bahwa banyak orang di seluruh dunia menghindarinya.
Kelompok-kelompok pribumi ini disebut sebagai kelompok yang tidak terkontak atau suku terasing. Mereka menghindari interaksi dengan suku-suku tetangga, negara-negara lain, dan dunia luar secara umum. Tidak jarang, mereka menolak orang-orang yang datang dan mencoba menjalin hubungan.
Namun, terlalu sering, dunia luar bersikeras untuk ikut campur. “Dan dalam prosesnya mengancam tanah, budaya, dan kehidupan masyarakat pribumi,” tulis Stephen C. George di laman Discover Magazine.
Survival International adalah sebuah lembaga nirlaba yang dikhususkan untuk memperjuangkan kehidupan dan hak-hak masyarakat suku di seluruh dunia. Lembaga ini memperkirakan bahwa lebih dari 100 suku yang tidak terkontak ada saat ini. Namun jumlah itu bisa jauh lebih tinggi dari perkiraan.
Berikut ini adalah beberapa suku yang paling terisolasi di Bumi.
Moxihatetema, Brasil dan Venezuela
Cagar Alam Yanomami menempati ruang yang lebih besar dari beberapa negara kecil — hampir 10 juta hektar. Di dalam wilayah yang luas ini hidup Suku Moxihatetema, suku terasing yang terdiri dari sekitar 100 orang. Suku ini memilih untuk memisahkan diri dari kontak dengan dunia luar, bahkan dari Suku Yanomami.
Foto udara yang diambil pada tahun 2016 menunjukkan bahwa suku tersebut berkembang pesat. Namun, Suku Moxihatetema menghadapi ancaman eksternal yang sama seriusnya dengan kerabat mereka dari Suku Yanomami.
Yang utama adalah ancaman dari penambang emas ilegal. Operasi penambangan mendatangkan malapetaka lingkungan pada ekosistem cagar alam. Ironisnya, kontak antara penambang emas dengan suku pribumi terkadang penuh “darah”.
Yaifo dan beberapa suku terasing di Papua Nugini
Mungkin masih ada lebih dari 40 suku terasing di Papua Nugini. Terkadang dikaitkan dengan praktik seperti kanibalisme dan perburuan kepala, komunitas ini sebagian besar menjalani gaya hidup pemburu-pengumpul. Di saat yang sama, mereka mempertahankan kontak yang sangat terbatas dengan dunia luar.
Baca Juga: Biang Kerok di Balik Ganasnya Suku Sentinel pada Pendatang Asing
Namun, keinginan mereka untuk tetap terisolasi tidak selalu berhasil. Misalnya: Suku Yaifo umumnya menghindari kontak dengan orang luar. Namun seorang penjelajah Inggris membuat banyak perbincangan karena menghilang selama ekspedisi untuk menjalin hubungan mereka.
Selama berabad-abad, Suku Korowai tidak hanya tetap tidak terkontak. Mereka juga sama sekali tidak dikenal oleh para antropolog Barat, yang pertama kali bertemu mereka pada tahun 1970-an.
Seperti banyak kelompok pribumi lainnya, masyarakat Papua Nugini yang tidak terkontak menghadapi berbagai ancaman termasuk pariwisata yang tidak terkendali. Selain itu, juga agresi militer dan ancaman kepentingan pertambangan dan penebangan di tanah mereka.
Mashco-Piro, Peru
Amazon Peru adalah rumah bagi beberapa suku terasing, termasuk yang disebut Mashco-Piro. Mashco-Piro selama beberapa dekade dianggap sebagai salah satu komunitas terakhir di daerah itu.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 600-800 anggota suku ini mulai menjangkau orang luar. Mereka memberi isyarat kepada para pelancong sungai, dan muncul di pos pemeriksaan pemerintah, meminta makanan atau bantuan lainnya.
Mashco-Piro dan suku-suku pribumi lainnya di Amazon semakin terancam oleh operasi penebangan liar di tanah mereka. Mereka juga mengalami bentrokan fatal dengan pengedar narkoba.
“Nama Mascho-Piro adalah nama yang tidak boleh Anda ucapkan di hadapan orang-orang ini,” tambah George. Nama itu merendahkan — mascho berarti buas dalam dialek lokal. Nomole, dengan arti yang mirip dengan kerabat atau saudara, adalah istilah yang lebih disukai.
Ayoreo, Paraguay
Cabang-cabang masyarakat Amerika Selatan ini dianggap sebagai kelompok pribumi terisolasi terakhir di Amerika di luar lembah Amazon. Suku Ayoreo merupakan penduduk asli Hutan Gran Chaco. Hutan besar ini mengalami salah satu tingkat penggundulan hutan tercepat di dunia.
Seperti halnya suku Mashco-Piro dan suku-suku terasing lainnya, sebagian besar tanah leluhur mereka telah dirusak oleh penebangan, penggembalaan, dan pembangunan.
Baca Juga: Pesan Lantang Suku Sentinel yang Memilih Hidup dalam Keterasingan
Setelah bertahun-tahun menghindari orang luar, sekelompok suku Ayoreo melakukan kontak dengan orang luar pada tahun 2004. Mereka tampaknya melarikan diri dari buldoser yang menghancurkan rumah mereka.
Selama beberapa dekade, para pemimpin suku bekerja sama dengan organisasi-organisasi hak asasi manusia untuk memenangkan kembali kepemilikan tanah mereka. Namun, tidak seperti buldoser, kemajuannya lambat.
Suku Sentinel, India
Sering dijuluki sebagai “masyarakat paling terisolasi di dunia” oleh media, penduduk Pulau Sentinel Utara di Teluk Benggala sangat tertutup. Mereka dikenal suka menanggapi pengunjung pulau itu dengan kasar.
Meskipun disebut sebagai Suku Sentinel atau Penduduk Pulau Sentinel Utara, kita tidak tahu apa sebutan mereka. Bahasa mereka juga tidak dikenal oleh orang luar. Bahkan oleh Suku Andaman di pulau-pulau tetangga yang masih berkerabat dengan mereka.
Perkiraan umumnya menyebutkan jumlah penduduk Suku Sentinel sekitar 50 hingga 200 orang. Mereka memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan gaya hidup berburu-meramu: membuat kano untuk memancing dan menangkap kepiting. Suku ini juga berburu hewan buruan kecil dengan busur, anak panah, dan tombak.
Sejak tahun 1950-an, pemerintah India telah menyatakan pulau itu terlarang dan melarang keras pengunjung. Hal ini dilakukan demi keselamatan semua pihak yang terkait. Suku Sentinel, seperti banyak penduduk pribumi yang terisolasi, rentan terhadap banyak penyakit yang mungkin dibawa oleh pendatang.
Di sisi lain, pendatang juga rentan terhadap anak panah. Anak panah biasa ditembakkan oleh Suku Sentinel ke perahu, helikopter, dan orang-orang yang mendekat.
Pulau itu menjadi berita utama di seluruh dunia pada tahun 2018. Saat itu seorang misionaris Amerika bepergian ke sana secara ilegal. Ia dibunuh segera setelah itu oleh anggota suku tersebut.
Source | : | Discover Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR