Nationalgeographic.co.id—Di sebuah sudut kawasan industri Cikarang, siang yang terik mengawali tahun 2005. Mesin-mesin besar tampak seperti deretan lori-lori kereta di stasiun. Putaran menderu dan menarik tumpukan kertas dari ujung mulutnya. Di bagian lain, mesin terakhir memuntahkan kertas berisi tulisan dan foto yang berwarna-warni.
Saya dan George Bounellis, Direktur Percetakan National Geographic Magazine waktu itu, memeriksa dengan saksama hasil cetakan dari mesin-mesin percetakan. Mesin-mesin itu khusus didatangkan dari Jerman untuk mencetak National Geographic Indonesia edisi perdana ini. Masih ada beberapa bulan sebelum tenggat kami memperkenalkan majalah ini kepada publik.
Tak mudah memang untuk mendapatkan izin bagi sebuah negara untuk menerbitkan majalah National Geographic dalam bahasa resminya. Kualitas editorial dan visual harus melalui serangkaian uji dan mendapatkan approval dari pihak global. Pun, sejatinya kami sudah memulai proses uji cetak ini sejak Desember 2004.
Sampai pada akhirnya, majalah ini resmi hadir di negeri kita pada 28 Maret 2005, yang lisensi penggarapannya oleh salah satu divisi Kompas Gramedia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani sampul edisi perdana National Geographic Indonesia, disaksikan Jakob Oetama sebagai penerbit bersama Executive Vice President National Geographic Society Terrence B. Adamson (1928-2021), dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Sejak saat itu majalah bingkai kuning ini meyakini kekuatan sains, penjelajahan, dan cara bertutur yang mengubah dunia hadir dan mendokumentasikan negeri.
Hari ini, 28 Maret 2025, menandai dekade kedua kami. Penjelajahan telah membawa kami bertemu dengan beragam insan dengan berjuta persoalan yang mengikutinya. Kepunahan demi kepunahan juga menjadi saksi perjalanan kami dalam usaha kami mengubah Dunia melalui ilmu pengetahuan.
Dari alunan nyanyian para mama melantunkan tembang menutup sasi di pesisir Papua, hingga deburan air Danau Toba menghantam perahu solu yang nyaris punah. Dari mistis dan megahnya kawasan Cagar Biosfer Lore Lindu, hangatnya pelukan orang-orang Dayak di Sungai Utik, sampai labirin-labirin Danau Sentarum yang menakjubkan. Kisah-kisah ini yang terus memberi kami asa tentang pemberian peluang kepada insan dan Bumi di masa depan.
Dekade ini juga membawa kita dalam perjalanan menuju sembilan miliar manusia di tengah era Antroposen, suatu zaman yang ditandai oleh jejak perilaku manusia di muka Bumi. Kehidupan umat manusia semakin jauh dari keterikatannya pada alam semesta.
Pemahaman pada warisan leluhur tampaknya semakin jauh dari tata kelola kehidupan manusia modern. Penjelajahan bersama National Geographic Indonesia mendudukkan kami pada sebuah ruang kelas yang mengajarkan konsep dari para leluhur tentang hutan. Ada sebuah keyakinan mendalam tentang hutan menjadi saksi bisu kehidupan generasi silam, tempat para leluhur menorehkan jejak, berdoa, dan memberikan amanah kearifan kepada generasi penerus.
Sepanjang perjalanan dua dasawarsa, kami belajar pada kegagalan-kegagalan yang lalu demi memberi peluang untuk Bumi menjadi lebih baik. Kami mengusung tajuk “Sudut Pandang Baru Peluang Bumi” sebagai ruh dan napas National Geographic Indonesia menapaki dekade berikutnya.
Perlu gagasan-gagasan baru untuk menginspirasi orang untuk peduli pada Bumi. Setiap generasi memiliki pendekatannya sendiri. Kini saatnya kami hadir mendampingi generasi penerus untuk dapat kembali menjalin hubungan dengan semesta dan alam sekitar. Mengembalikan negeri ini untuk berkehidupan meniru alam dan melindungi semesta seperti amanah para leluhur.
Satu hal yang tak pernah berubah di dalam perjalanan ini, kami tetap percaya bahwa melalui ilmu pengetahuan, penjelajahan, dan kemampuan bercerita kita akan tetap dapat mengubah dunia!
Tetap Menjelajah.
Penulis | : | Didi Kaspi Kasim |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR