Nationalgeographic.co.id—Masyarakat sering kali menggambarkan Idulfitri sebagai momen kebersamaan yang sempurna. Namun bagi sebagian orang, pertemuan keluarga justru bisa menjadi sumber stres.
Saat Idulfitri, tekanan bisa terasa lebih berat karena kita berusaha memenuhi harapan orang lain, sering kali dengan mengorbankan kebutuhan diri sendiri.
Media sosial, budaya, dan bahkan keluarga sendiri sering kali membentuk ekspektasi bahwa perayaan harus sempurna—penuh kebersamaan dan tanpa konflik.
Laporan terbaru dari Parents Under Pressure yang dirilis oleh U.S. Surgeon General menunjukkan bahwa tingkat stres keluarga terus meningkat.
Penelitian dari American Psychological Association menyebutkan bahwa “budaya perbandingan” yang diperkuat oleh media sosial menjadi salah satu penyebab utama tekanan ini, terutama selama hari raya.
Namun, kenyataan tak selalu seindah gambaran di media sosial. Dalam berbagai sesi pelatihan yang saya adakan, banyak orang mengungkapkan bahwa mereka merasa cemas atau memiliki perasaan campur aduk sebelum bertemu keluarga besar.
Beberapa bahkan merasa khawatir atau takut menghadapi “waktu bersama keluarga” karena harus bertemu dengan kerabat yang mungkin pernah menyakiti mereka di masa lalu tanpa pernah meminta maaf.
Di sisi lain, Idulfitri juga bisa menjadi momen yang penuh kehangatan dan kebersamaan—kesempatan untuk mempererat hubungan dengan anggota keluarga yang membuat kita merasa aman dan diterima.
Kita tentu tidak ingin kehilangan kebahagiaan itu. Namun, agar bisa menikmati momen berharga bersama keluarga, kita perlu merencanakan strategi untuk menghadapi situasi yang berpotensi menimbulkan stres.
Kurangi Stres Idulfitri
Anggaplah momen Idulfitri sebagai kesempatan untuk lebih memprioritaskan kesehatan mental dan menjadi penjaga kesejahteraan emosional Anda, terutama sebelum menghadapi pertemuan keluarga yang berpotensi membuat stres.
Baca Juga: Jadi Tradisi saat Lebaran, Ini Manfaat Saling Memaafkan Menurut Sains
Ajarkan juga kepada anak-anak bahwa menjaga kesehatan emosional adalah hal yang penting. Bagaimanapun, mereka juga harus menghadapi nenek atau kakek yang mungkin memiliki sikap toksik, bersama dengan Anda.
Luangkan waktu untuk membahas dan mempersiapkan diri menghadapi pertemuan keluarga yang sulit.
Apa strategi yang bisa Anda gunakan? Berikut beberapa ide yang bisa membantu:
Jika Anda tahu akan bertemu anggota keluarga yang sulit dan khawatir terlibat dalam percakapan yang menguras energi, siapkan strategi untuk menghadapi interaksi “berisiko tinggi” ini.
Hubungan yang paling menantang sering kali memunculkan kembali keyakinan negatif lama tentang diri kita sendiri, membuat kita terus-menerus mengulang percakapan dalam pikiran, merasa bersalah, atau bahkan mempertanyakan nilai diri sendiri.
Merencanakan cara untuk menghadapi situasi ini akan membantu Anda tetap tenang dan tidak terjebak dalam pola interaksi yang melelahkan.
Mengatasi Pikiran Negatif dan Menjaga Kesehatan Mental Saat Berkumpul Keluarga
Pikiran negatif tentang diri sendiri sering kali muncul akibat pengalaman dan interaksi dengan anggota keluarga tertentu. Beberapa keyakinan negatif yang mungkin muncul termasuk:
Keyakinan-keyakinan ini dapat membentuk cara kita melihat diri sendiri, lingkungan, serta posisi kita dalam keluarga dan masyarakat, seolah-olah kita mengenakan "kacamata bias" yang mengubah perspektif kita.
Jika berbicara dengan kerabat tertentu selalu membuat Anda merasa buruk dan terus-menerus memikirkan kesalahan atau kekurangan diri sendiri, cobalah tips berikut:
Saat mereka melontarkan komentar pasif-agresif, Anda bisa melihatnya sebagai pola lama, bukan serangan pribadi.
Menetapkan Batasan dengan Anggota Keluarga
Jika Anda merasa perlu memberikan respons langsung kepada seseorang yang telah melewati batas, cobalah beberapa pernyataan berikut:
Menetapkan batasan bukan berarti meminta orang lain untuk berubah—karena mereka mungkin tidak akan berubah.
Namun, ini adalah bentuk komitmen untuk melindungi diri sendiri dan menyuarakan perasaan Anda. Dengan melakukan ini, Anda juga memberikan contoh bagi anak-anak tentang cara mempertahankan batasan yang sehat.
Source | : | Psychology Today,American Psychological Association |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR