Nationalgeographic.co.id—Garam telah menjadi topik perdebatan ilmiah selama bertahun-tahun oleh banyak ahli. Sementara sebagian besar ahli merekomendasikan untuk menguranginya, batas aman konsumsi garam bagi manusia ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan.
Sebagai bumbu yang tak tergantikan, garam hadir di hampir setiap hidangan, sekaligus menjadi kebutuhan esensial bagi tubuh. Namun, di balik manfaatnya, konsumsi garam berlebihan juga dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan serius.
Salah satu risiko utama dari terlalu banyak garam adalah hipertensi atau tekanan darah tinggi.
Karena itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar orang dewasa sehat tidak mengonsumsi lebih dari 2 gram natrium per hari. Sementara itu, American Heart Association (AHA) menetapkan batas maksimal 2,3 gram per hari—setara dengan satu sendok teh garam.
Idealnya, bagi mereka yang sudah memiliki tekanan darah tinggi, konsumsi natrium sebaiknya dibatasi hingga dua pertiga dari angka tersebut.
Namun, membatasi garam dalam makanan sehari-hari lebih sulit daripada yang dibayangkan. Sebagai gambaran, satu porsi burger dengan saus, sekaleng sup, atau dua potong pizza sudah cukup untuk memenuhi batas harian yang disarankan.
Rata-rata konsumsi natrium masyarakat Amerika saat ini mencapai 3,4 gram per hari. Secara global, angka ini bahkan lebih tinggi, yakni 4,3 gram, terutama didorong oleh pola makan di Asia Timur dan Asia Tengah yang kaya akan cita rasa.
Tak ada ilmuwan yang menyangkal bahwa konsumsi garam berlebihan dapat berdampak buruk pada tekanan darah. Namun, perdebatan masih berlangsung mengenai satu hal: berapa sebenarnya batas aman konsumsi garam?
Bagaimana Garam Mempengaruhi Tubuh?
Garam dapur terdiri dari dua ion bermuatan berlawanan: natrium dan klorida. Dari keduanya, natrium sering dianggap sebagai "pemeran jahat."
Ion natrium berperan dalam mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh dengan memberi sinyal apakah tubuh perlu menahan atau melepaskan air agar kadar natrium tetap stabil. Namun, jika natrium dikonsumsi secara berlebihan dalam jangka panjang, tubuh dapat mengalami gangguan serius.
Baca Juga: Produksi Garam Dunia yang Berlebih Ancam Kelestarian Alam Sekitar Kita
Ketika kadar natrium dalam tubuh melonjak, tubuh merespons dengan menahan lebih banyak air, menyebabkan peningkatan volume darah. Jantung pun bekerja lebih keras untuk memompa darah dalam jumlah lebih besar.
Akibatnya, pembuluh darah menjadi kaku, sehingga tekanan terhadap dinding pembuluh meningkat. Sementara itu, ginjal juga harus bekerja ekstra keras untuk menyaring kelebihan garam dari darah dan membuangnya melalui urine.
Semua proses ini memberi tekanan besar pada jantung dan ginjal. Seiring waktu, organ-organ ini bisa melemah, seperti ban yang aus akibat penggunaan terus-menerus. Konsumsi garam yang berlebihan dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko gagal ginjal, penyakit jantung, dan stroke.
Selain itu, pola makan tinggi garam juga dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terhadap tukak lambung dan kanker perut. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa garam dapat menarik kalsium dari tulang dan meningkatkan risiko osteoporosis. Namun, efek ini belum terbukti secara merata di semua kelompok populasi.
Perdebatan Seputar Garam
Makanan asin sulit dihindari karena tubuh kita secara alami menginginkannya. Garam memang penting bagi kesehatan. Kekurangan garam dapat menyebabkan kram otot, resistensi insulin, bahkan aterosklerosis, yang dapat berujung pada stroke.
Namun, kasus kekurangan garam sangat jarang terjadi, dengan hanya 2 persen populasi AS yang berisiko mengalami hal ini.
Meskipun risikonya kecil, beberapa peneliti mempertanyakan aturan pembatasan garam yang dianggap terlalu ketat.
Pada 2013, laporan dari Institute of Medicine (kini National Academy of Medicine) meninjau ulang batas konsumsi 2,3 gram per hari, karena bukti ilmiahnya dianggap kurang kuat. Hal ini memicu perdebatan sengit di dunia medis, yang dikenal sebagai “perang garam.”
American Heart Association (AHA) tetap berpegang pada batas yang ada, meskipun ada perdebatan. Profesor Franz Messerli dari University of Bern menilai bahwa kampanye ketat melawan garam berlebihan. Faktanya, tidak ada negara yang benar-benar mampu menjaga konsumsi garam di bawah ambang batas yang dianjurkan.
Messerli berpendapat bahwa hubungan antara garam dan tekanan darah tidak sesederhana yang diklaim, karena banyak faktor lain berpengaruh, seperti riwayat medis, stres, jenis pekerjaan (misalnya pekerja luar ruangan yang lebih banyak berkeringat), serta tingkat aktivitas fisik. Olahraga, misalnya, dapat menurunkan tekanan darah, sehingga individu yang aktif dapat mentoleransi lebih banyak garam.
Dalam pedoman medis, batas minimum konsumsi natrium yang direkomendasikan adalah 0,5 gram per hari. Namun, respons tubuh terhadap garam bisa berbeda-beda. Misalnya, kelompok tertentu, seperti orang Afrika-Amerika, lebih rentan mengalami tekanan darah tinggi dibandingkan kelompok lain, kemungkinan karena faktor genetik dan sosial ekonomi.
Menurut Messerli, garam sering dianggap sebagai elektrolit yang dapat merusak tubuh, tetapi sejauh mana dampaknya masih belum sepenuhnya dipahami. Studi acak berskala besar adalah cara terbaik untuk mengakhiri perdebatan ini.
Namun, menjalankan penelitian jangka panjang dengan kontrol ketat terhadap asupan garam sulit dilakukan, karena kebanyakan orang kesulitan mempertahankan diet rendah garam selama lebih dari enam bulan.
Meskipun penelitian pada manusia masih terbatas, studi terbaru menunjukkan bahwa dampak garam lebih dari sekadar tekanan darah.
Dominik Müller dari Max Delbrück Center menemukan bahwa garam memengaruhi metabolisme sel dan dapat mengaktifkan sel imun untuk melawan patogen. Garam juga tampaknya menumpuk di sekitar luka kulit sebagai mekanisme pertahanan alami.
Namun, asupan garam yang berlebihan dapat memicu peradangan, yang berkontribusi pada penyakit kardiovaskular dan gangguan autoimun. “Selama ini, sensitivitas garam hanya diukur berdasarkan tekanan darah,” kata Müller.
Dia menambahkan, “Mungkin kita perlu mempertimbangkan definisi yang lebih luas, yaitu bagaimana garam juga memengaruhi fungsi seluler.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR