Nationalgeographic.co.id—Karen Chin tidak berencana menjadi ahli kotoran dinosaurus. Ia mempelajari kotoran dinosaurus yang membatu, yang disebut koprolit, sebagai mahasiswa pascasarjana. Chin merasa akan mengembangkan minatnya setelah itu. Ditambah lagi, ia menambahkan sambil tertawa, “Saya tidak ingin dikenal sebagai orang yang suka kotoran.”
Namun, semakin banyak ia mempelajari tentang koprolit, semakin ia terpikat oleh potensi unik bidang tersebut. Menurutnya, koprolit bisa mengungkap ekosistem masa lalu. Dengan menganalisis makanan terakhir dinosaurus, ia menyadari, peneliti dapat merekonstruksi jaring makanan yang menghubungkan organisme purba.
“Yang saya sukai dari mempelajari koprolit adalah Anda tidak akan bisa mendapatkan informasi semacam ini hanya dengan melihat tengkorak dan gigi dinosaurus,” kata Chin.
Tidak mudah untuk menemukan kotoran berusia 75 juta tahun
Chin menerbitkan lebih dari dua lusin makalah yang merinci fosil kotoran dinosaurus. Penelitiannya menjadikannya tokoh terkemuka di bidang paleoscatalogy. Paleoscatalogy adalah bidang penelitian yang kecil karena, dibandingkan dengan fosil tulang dinosaurus, koprolit relatif jarang.
Agar kotoran menjadi fosil, kotoran tersebut harus dikubur segera setelah dikeluarkan. Kotoran dinosaurus harus terkubur di lingkungan lembap yang mendukung pertumbuhan bakteri, seperti tepi danau.
Untungnya, Chin menjadi sangat ahli menemukan kotoran tersebut, yang tidak mudah. Kotoran dari hewan berukuran sedang cenderung mempertahankan bentuknya seperti sosis. Namun hal itu biasanya tidak terjadi pada hewan yang lebih besar, katanya. Kotoran dinosaurus jatuh lebih jauh atau tinggi (hingga 2 meter, untuk beberapa dinosaurus!). Karena itu, kotoran tersebut dapat pecah menjadi beberapa bagian dan berakhir sebagai tumpukan yang tidak dapat dikenali.
Untuk mengidentifikasi kotoran ini, ilmuwan seperti Chin melihat beberapa kriteria selain bentuk.
Pertama, peneliti memindai kotoran yang diduga untuk mengetahui keberadaan potongan-potongan kecil bahan tanaman, cangkang, dan tulang. Mereka juga menganalisis susunan kimia sampel untuk mengetahui konsentrasi kalsium dan fosfor yang tinggi. Konsentrasi itu merupakan tanda adanya tulang dan jaringan yang dicerna. Bahan tanaman mengandung unsur-unsur yang lebih rendah, sehingga kotoran fosil dari dinosaurus herbivora semakin sulit ditemukan.
Terakhir, paleoscatalogists mencari bukti bahwa kotoran yang diduga dimakan oleh organisme yang menyukai kotoran, seperti kumbang kotoran. Liang yang dibuat oleh kumbang purba memainkan peran penting dalam mengonfirmasi identitas kotoran pertama yang dipelajari Chin pada 1996.
Pada sebuah konferensi dengan kolaboratornya, ahli entomologi Bruce D. Gill, dia sangat antusias melihat foto-foto liang kotoran. Juga bola kotoran raksasa dari Afrika. Gill membawa bola itu untuk menunjukkan bahwa kumbang kotoran pasti telah menggali liang fosil tersebut.
Baca Juga: Pada Dinosaurus Bertubuh Besar, Bagaimana Mereka Mengerami Telurnya?
Source | : | Freethink |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR