Nationalgeographic.co.id—Salah satu spesies pterosaurus tampaknya mengalami perubahan signifikan seiring pertambahan usia dan ukuran tubuhnya.
Selama lebih dari seratus tahun, para ilmuwan mempertanyakan apakah fosil reptil terbang berukuran besar dengan struktur tubuh yang tak biasa ini merupakan spesies yang berbeda dari individu-individu yang lebih kecil. Namun, dalam sebuah studi yang dipublikasikan, para peneliti menyatakan bahwa itu bukanlah spesies terpisah.
Kajian David W.E. Hone dan Skye N. McDavid itu berjudul "A giant specimen of Rhamphorhynchus muensteri and comments on the ontogeny of rhamphorhynchines" yang terbit di Jurnal PeerJ pada Januari 2025. Mereka menyimpulkan bahwa pterosaurus "raksasa" dari era Jurassic tersebut merupakan bentuk akhir dari spesies yang sama. Temuan ini memberikan wawasan baru mengenai perubahan fisik dan ekologi yang dialami makhluk terbang purba tersebut sepanjang hidupnya.
Rhamphorhynchus adalah pterosaurus bergigi menonjol yang hidup sekitar 150 juta tahun lalu, pada masa Jurassic, di wilayah yang kini menjadi bagian dari Eropa dan Afrika. Spesies ini termasuk salah satu pterosaurus yang paling dikenal, dengan lebih dari 100 fosil yang telah ditemukan dan didokumentasikan oleh para ilmuwan.
Namun, sebuah fosil kerangka yang nyaris utuh, ditemukan pada pertengahan abad ke-19 di lapisan batu kapur di Jerman selatan, menunjukkan perbedaan mencolok. Umumnya, Rhamphorhynchus dewasa memiliki rentang sayap sekitar 1 meter, setara dengan ukuran burung gagak. Akan tetapi, fosil yang satu ini jauh lebih besar, dengan rentang sayap menyerupai elang.
Dilansir dari laman Science News, awalnya, fosil ini diperkirakan berasal dari spesies yang berbeda. Namun, pada tahun 1995, seorang ilmuwan mengajukan pendapat bahwa semua Rhamphorhynchus yang ditemukan sebenarnya termasuk dalam satu spesies, yaitu R. muensteri. Meski begitu, ukuran luar biasa dari spesimen ini tetap memunculkan pertanyaan, ujar David Hone, seorang paleontolog dari Queen Mary University of London.
"Makhluk ini besar dan aneh," katanya. "Mungkin ini memang spesies yang berbeda, dan kita belum benar-benar memeriksanya dengan saksama."
Hone dan Skye McDavid, seorang paleontolog independen, melakukan penelitian mendalam terhadap kerangka misterius ini, menganalisis keanehannya.
Para peneliti melakukan pengukuran rinci terhadap tengkorak dan tubuh fosil, dan membandingkannya dengan spesimen Rhamphorhynchus lainnya. Tim ini menemukan banyak ciri khas unik. Saat hidup, hewan ini akan memiliki rentang sayap 1,8 meter, menjadikannya lebih dari 60 persen lebih besar dibanding hampir semua Rhamphorhynchus yang pernah ditemukan. Rongga matanya juga relatif lebih kecil, dan bukaan tengkorak di belakang mata lebih besar.
Namun, para peneliti berargumen bahwa ciri-ciri ini sejalan dengan perubahan proporsi bertahap yang dialami pterosaurus dan hewan lain saat tumbuh membesar. Fosil raksasa dari era Jurassic ini tampaknya adalah bentuk akhir dari pertumbuhan R. muensteri.
Baca Juga: Sarang Fosil Dinosaurus di Tiongkok: Mengapa Terawetkan Sempurna?
“Spesimen ini sangat menarik,” kata Natalia Jagielska, paleontolog dari Lyme Regis Museum di Dorset, Inggris. “Saya senang akhirnya spesimen ini dijelaskan secara rinci, bukan hanya disebutkan sekilas.”
Salah satu aspek paling menarik dari fosil ini terletak pada bentuk giginya. Menurut Hone, R. muensteri berukuran kecil memiliki gigi yang saling mengunci, menyerupai jarum dengan penampang bulat. Namun, spesimen raksasa ini menunjukkan gigi yang jauh lebih lebar dan pipih. Hone berpendapat bahwa bentuk gigi yang gepeng, ditambah dengan tubuh yang besar, mengindikasikan bahwa hewan ini mengonsumsi jenis makanan yang berbeda dibandingkan kerabatnya yang lebih kecil.
Versi kecil dari pterosaurus ini memakan udang kecil dan ikan, ujar Hone. Sedangkan untuk individu dewasa yang jauh lebih besar, makanan sekecil itu “hanya akan lolos di antara giginya.”
Kemungkinan besar, makanan utamanya adalah mangsa darat seperti kadal atau mamalia kecil. Karena itu, R. muensteri yang lebih besar mungkin juga menghabiskan lebih sedikit waktu di wilayah pesisir, dan lebih sering menjelajah ke daratan, menyusuri aliran sungai dan muara.
Menurut Hone, perbedaan relung ekologi berdasarkan usia seperti ini kemungkinan besar tak bisa dihindari oleh hewan seperti pterosaurus dan dinosaurus, karena mereka menetas dalam ukuran yang sangat kecil dan diyakini terus tumbuh sepanjang hidupnya.
“Setiap tahap kehidupan adalah makhluk yang sedikit berbeda,” kata Jagielska.
Dave Unwin, seorang paleontolog dari University of Leicester, Inggris, tidak sependapat dengan gagasan bahwa individu yang lebih tua dan lebih besar mungkin mengubah pola makan atau habitatnya. Anatomi pterosaurus tersebut, katanya, “sama sekali tidak cocok” untuk mencari makan di lingkungan darat, dan perbedaan pada kerangka dan gigi pterosaurus besar itu lebih mungkin dijelaskan sebagai konsekuensi dari tubuh yang lebih berat seiring bertambahnya ukuran.
Bagaimanapun juga, studi semacam ini bisa membantu peneliti memahami lebih baik bagaimana pterosaurus tumbuh sepanjang hidup mereka, kata Rudah Duque, seorang paleontolog dari Universitas Federal Pernambuco di Recife, Brasil.
“Selama bertahun-tahun, banyak spesies [pterosaurus] telah dideskripsikan—kadang tanpa kriteria yang memadai—karena bahan perbandingan yang sedikit, sehingga menghasilkan banyak taksa yang sebenarnya mewakili individu dari spesies yang sama, namun dalam usia atau jenis kelamin yang berbeda,” kata Duque. Temuan baru dari berbagai tahap kehidupan telah meningkatkan pemahaman peneliti terhadap biologi pterosaurus secara umum, tambahnya. “Namun, masih banyak yang harus kita ungkap.”
Dengan semakin banyak bukti dari berbagai tahap kehidupan Rhamphorhynchus, para ilmuwan kini dapat meninjau ulang anggapan lama tentang keanekaragaman spesies pterosaurus. Spesimen yang sebelumnya dianggap sebagai spesies berbeda ternyata bisa jadi hanyalah individu dewasa dengan karakteristik morfologis yang berubah secara bertahap seiring usia.
Temuan ini tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang pertumbuhan dan perubahan fisik pterosaurus, tetapi juga menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam mengklasifikasikan fosil berdasarkan ukuran atau bentuk semata. Di balik setiap perbedaan mencolok, bisa jadi tersembunyi satu kisah evolusi yang panjang dalam tubuh seekor makhluk purba yang terus tumbuh dan beradaptasi sepanjang hidupnya.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | PeerJ,Science News |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR