Nationalgeographic.co.id—Dengan wafatnya Paus Fransiskus pada usia 88 tahun, dunia kini dihadapkan pada pertanyaan penting: siapakah yang akan menjadi paus berikutnya—dan bagaimana proses pemilihannya akan berlangsung?
Setelah pengunduran diri Paus Benediktus XVI pada tahun 2013, umat Katolik harus menunggu selama dua pekan sebelum akhirnya mengetahui siapa yang akan menjadi wakil Tuhan di dunia selanjutnya.
Kerumunan umat yang memadati Lapangan Santo Petrus di Vatikan bersorak ketika asap putih mengepul dari cerobong, menandakan bahwa para kardinal telah mencapai keputusan dalam pemungutan suara. Asap putih tersebut menjadi simbol terakhir dari proses pemilihan paus yang rumit, yang konon telah berlangsung sejak zaman Yesus Kristus.
Berikut adalah penjelasan lebih dekat mengenai sejarah dan proses di balik salah satu tradisi paling misterius dan sakral di Vatikan.
Asal Usul Kepausan
Menurut Gereja Katolik, paus awalnya adalah uskup Roma—jabatan yang pertama kali dipegang oleh Santo Petrus, salah satu dari 12 murid Yesus. Teori Petrin menyatakan bahwa otoritas yang diberikan Yesus kepada Petrus (sekitar tahun 30 Masehi) telah diteruskan secara turun-temurun kepada setiap paus sesudahnya.
Pada masa itu, Petrus disebut papa, istilah dalam bahasa Latin yang digunakan umat Kristen sebagai bentuk penghormatan penuh kasih. Gelar ini sebenarnya digunakan pula oleh para rohaniwan terkemuka lainnya di dunia Kristen.
Namun, hak eksklusif atas sebutan papa—yang kemudian berkembang menjadi “pope” dalam bahasa Inggris—baru diambil alih secara khusus oleh uskup Roma pada abad ke-6. Sejak saat itu, konsep primasi kepausan (bahwa paus adalah pemimpin tertinggi Gereja) melekat pada gelar papa di Roma, yang menempatkan uskup kota itu di atas semua uskup lainnya.
Awal Mula Proses Suksesi Kepausan
Hingga abad ke-11, pemilihan paus dilakukan melalui pendapat umum—baik dari kalangan rohaniwan maupun umat. Proses ini sering kali menimbulkan perpecahan, menghasilkan pemilihan yang diperselisihkan dan munculnya antipaus—yaitu individu dengan klaim kuat, namun tidak sah, atas tahta kepausan.
Pada tahun 1059, Paus Nikolas II mengeluarkan dekrit yang menetapkan tata cara pemilihan paus di masa mendatang. Ia menetapkan bahwa para uskup kardinal bertindak sebagai pemilih utama. Menariknya, Nikolas II sendiri naik takhta di tengah sengketa dengan dua antipaus, menunjukkan betapa rumit dan politisnya proses suksesi kepausan saat itu.
Baca Juga: Ritual Apa Saja yang Harus Ditunaikan Setelah Paus Fransiskus Wafat?
Dekrit tersebut juga mengurangi pengaruh aristokrasi Roma dan rohaniwan tingkat bawah, sekaligus meletakkan dasar bagi pembentukan College of Cardinals yang secara resmi berdiri pada tahun 1150.
Seiring waktu, kriteria calon paus, aturan pemungutan suara, dan keharusan mengarantina para pemilih (konklaf) mulai diformalkan—dan terus disempurnakan seiring ditemukannya kelemahan dalam sistem.
Persyaratan dua pertiga suara mayoritas dimulai pada tahun 1179. Jumlah kardinal yang awalnya tak lebih dari 30 pada Abad Pertengahan meningkat menjadi 70 pada tahun 1586.
Lebih dari empat abad kemudian, Paus Paulus VI menetapkan batas maksimum kardinal pemilih menjadi 120 pada tahun 1975. Batas usia maksimal untuk menjadi pemilih ditetapkan pada 80 tahun sejak tahun 1970.
Saat ini terdapat 222 kardinal di seluruh dunia, dengan 120 di antaranya masih memenuhi syarat untuk memilih. Namun, hingga akhir tahun ini, delapan kardinal akan melewati usia 80 dan menjadi tidak lagi memenuhi syarat untuk ikut dalam konklaf.
Ketika seorang paus wafat atau mengundurkan diri, seluruh anggota College of Cardinals wajib hadir dalam pemilihan paus (konklaf), kecuali karena alasan kesehatan atau usia yang tidak memenuhi syarat.
Perlu dicatat, pengunduran diri paus adalah pengecualian, bukan kebiasaan. Sebelum pengunduran diri Benediktus XVI pada tahun 2013, paus terakhir yang mundur melakukannya pada tahun 1415.
Setelah takhta kepausan dinyatakan kosong, konklaf resmi dimulai dalam waktu 15 hingga 20 hari sejak paus terakhir wafat atau mengundurkan diri. Ketentuan waktu ini ditetapkan pada tahun 1922 untuk memberi waktu yang cukup bagi para kardinal dari seluruh dunia agar dapat tiba di Vatikan.
Proses Pemilihan Paus Saat Ini
Pemilihan paus dilakukan oleh para kardinal yang memenuhi syarat, dan secara teknis mereka juga menjadi kandidat. Sebelum konklaf, para kardinal tiba di Roma dan memimpin Misa di gereja-gereja lokal sebagai bentuk pengenalan diri kepada publik.
Konklaf berlangsung di Kapel Sistina, di mana para kardinal dikarantina dan bersumpah menjaga kerahasiaan. Pemungutan suara dilakukan secara rahasia melalui beberapa tahap: distribusi surat suara (pre-scrutiny), pemungutan suara (scrutiny), dan penghitungan serta pembakaran surat suara (post-scrutiny).
Jika belum ada paus terpilih, maksimal empat pemungutan suara dilakukan setiap hari. Setelah tiga hari tanpa hasil, diberikan satu hari refleksi. Siklus ini dapat diulang hingga tujuh kali sebelum akhirnya dilakukan pemungutan suara putaran final.
Asap dari pembakaran surat suara menjadi penanda bagi publik: hitam jika belum terpilih, putih jika paus telah terpilih. Sejak 2005, Vatikan menggunakan campuran bahan kimia khusus untuk membedakan warna asap ini.
Dalam konklaf tahun 2013, empat kepulan asap hitam muncul sebelum akhirnya asap putih terlihat dari cerobong.
Beberapa jam sebelum kepulan asap putih itu, seekor camar putih hinggap sendirian di atas cerobong—banyak pengamat menganggapnya sebagai pertanda bahwa penantian akan segera berakhir. Tak lama kemudian Kardinal Jorge Mario Bergoglio terpilih sebagai paus, yang kita kenal sebagai Paus Fransiskus.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan pengetahuan yang mendalam.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR