Nationalgeographic.co.id—Para peneliti Eropa baru-baru ini membuat temuan mengejutkan: dinosaurus predator besar bernama Irritator challengeri, kerabat dekat Spinosaurus, kemungkinan menangkap mangsanya dengan cara yang mirip pelikan, yakni melebarkan rahang bawahnya.
Analisis detail ini membuka wawasan baru tentang perilaku makan dinosaurus purba. Namun, temuan ilmiah ini terbelit polemik sengit di kalangan paleontolog, yang berpusat pada asal-usul fosil yang menjadi dasar studi tersebut—yang diduga diambil secara ilegal dari Brasil dan seharusnya dikembalikan ke negara asalnya.
Irritator challengeri adalah anggota keluarga Spinosauridae, kelompok dinosaurus karnivora bipedal yang dikenal dengan moncong panjang mirip buaya. Spesies ini, yang bisa mencapai panjang hingga sekitar 6,5 meter, pertama kali dideskripsikan pada tahun 1996.
Fosilnya, yang berusia 115 juta tahun, ditemukan di Araripe Basin, timur laut Brasil. Setelah penggalian, fosil ini kemudian dikirim ke Jerman dan kini tersimpan di Stuttgart Museum of Natural History, di negara bagian Baden-Württemberg.
Dalam studi terbarunya yang diterbitkan di jurnal Palaeontologia Electronica, para peneliti melakukan rekonstruksi digital terhadap tengkorak spesimen I. challengeri yang ada di Stuttgart.
Hasilnya menunjukkan bahwa rahang bawah dinosaurus ini memiliki kemampuan meregang ke samping, memperlebar faringnya (area di belakang hidung dan mulut). Kemampuan ini sangat mirip dengan cara pelikan melebarkan paruh bawahnya saat menelan ikan kecil.
Berdasarkan temuan ini, para peneliti menyimpulkan bahwa I. challengeri kemungkinan besar memiliki metode makan serupa, mungkin dengan "menyendok" mangsa kecil dari air.
Analisis mendalam ini juga mengungkap fitur menarik lainnya: karena posisi matanya, I. challengeri secara alami akan memiringkan moncongnya pada sudut 45 derajat. Dinosaurus ini mampu melakukan gigitan cepat, meskipun tidak terlalu kuat.
Kombinasi karakteristik ini—moncong panjang, kemampuan melebarkan rahang, sudut kemiringan, dan gigitan cepat—sangat ideal untuk dengan cepat menyedot mangsa dari perairan dangkal, sebuah strategi berburu yang cerdik di lingkungannya.
Kontroversi Seputar Perjalanan Fosil
Meskipun temuan ilmiahnya menarik, "perjalanan" fosil I. challengeri dari Brasil ke Jerman menjadi sumber kontroversi panas. Fosil tersebut digali oleh penggali komersial non-ilmiah dan dijual kepada Museum Stuttgart sebelum tahun 1990—tahun ketika Brasil mulai memberlakukan pembatasan ketat pada ekspor ilmiah ke luar negeri.
Baca Juga: Paus Fransiskus Pernah Sebut Dirinya 'Dinosaurus', Pertanyaan Sederhana Ini Jadi Pemantiknya
Para peneliti studi ini berpendapat bahwa, berdasarkan konteks waktu pembelian tersebut, fosil-fosil tersebut secara hukum menjadi milik negara bagian Baden-Württemberg.
Namun, undang-undang Brasil yang lebih tua, yang telah berlaku sejak tahun 1942, dengan jelas menyatakan bahwa semua fosil yang ditemukan di Brasil adalah milik federal dan tidak dapat diperjualbelikan. Ini berarti, secara teknis, fosil tersebut dicuri oleh para penggali komersial yang mengekspornya.
Juan Carlos Cisneros, seorang paleontolog di Universitas Federal Piauí di Brasil yang tidak terlibat dalam studi baru ini, menegaskan kepada Live Science bahwa "membeli barang curian tidak menjadikan Anda pemiliknya."
Cisneros dan banyak ahli lainnya memandang kasus ini sebagai contoh nyata kolonialisme ilmiah. Mereka berargumen, "Dinosaurus itu adalah warisan Brasil yang digunakan untuk memajukan ilmu pengetahuan di negara Eropa."
Menurut Cisneros, tindakan ini sangat sesuai dengan definisi kolonialisme, yaitu "menggunakan sumber daya berharga dari negara lain untuk keuntungan negara kaya."
Menerbitkan studi yang didasarkan pada fosil yang diduga ilegal justru dianggap melegitimasi praktik kolonial ini dan menghambat kemampuan negara-negara berkembang untuk berkontribusi pada sains global.
Setelah publikasi makalah baru ini, gelombang kecaman muncul di media sosial dari para paleontolog dan penggemar fosil. Mereka menyerang para peneliti dan jurnal yang menerbitkannya menggunakan tagar #IrritatorBelongstoBR. Akibat reaksi keras ini, jurnal Palaeontologia Electronica sempat menarik makalah tersebut untuk sementara waktu, meskipun kini telah diunggah kembali.
Paul Stewens, seorang mahasiswa hukum di Graduate Institute of International and Development Studies di Jenewa, menganggap respons daring ini sebagai "bentuk kemarahan yang terlambat" terhadap budaya kolonialisme ilmiah yang sudah lama ada di bidang paleontologi. Stewens sendiri mem-posting utas di Twitter yang merinci isu-isu etis seputar studi ini.
Dalam makalahnya, para peneliti Eropa memang mengakui "status yang mungkin problematik" dari fosil-fosil tersebut dalam pernyataan etika mereka. Namun, baik Cisneros maupun Stewens menilai pernyataan tersebut tidak cukup untuk meredakan kontroversi.
Serjoscha Evers, ahli biologi evolusioner di Universitas Freiburg, Jerman, dan salah satu penulis studi, mengakui kepada Live Science bahwa mereka menyadari "fosil tersebut dianggap ilegal oleh sebagian pihak."
Namun, ia beralasan bahwa isu ini memerlukan klarifikasi hukum di pengadilan, yang tidak dapat mereka akses sebelum memulai studi. Evers menegaskan para peneliti bersedia sepenuhnya mematuhi keputusan hukum apa pun di masa mendatang.
Baca Juga: Lima Dinosaurus Paling Aneh yang Pernah Ada, Ilmuwan Sekalipun Sampai Mengernyitkan Dahi
Evers juga berpendapat, "Kami menambahkan informasi baru pada fosil dinosaurus yang telah dikenal oleh ilmu pengetahuan sejak tahun 1996, dan kami tidak berpikir bahwa fosil seperti ini, yang sudah tersedia dalam literatur ilmiah, harus dikenakan moratorium publikasi."
Namun, para kritikus tetap berpendapat bahwa temuan ilmiah tidak seharusnya digunakan untuk membenarkan penggunaan fosil yang kontroversial. Cisneros menegaskan, "Temuan yang sama bisa saja dihasilkan oleh tim peneliti dari Brasil."
Kontroversi serupa sebelumnya menyelimuti studi tentang fosil dinosaurus karnivora Ubirajara jubatus, yang juga digali di Brasil dan dijual ke State Museum of Natural History Karlsruhe di Jerman dalam keadaan yang mirip. Dalam kasus tersebut, museum tersebut akhirnya memutuskan untuk mengembalikan fosil Ubirajara jubatus ke Brasil.
Cisneros percaya bahwa fosil Irritator challengeri "seharusnya" dikembalikan ke Brasil. Ironisnya, bahkan Evers, salah satu penulis studi yang kontroversial, setuju bahwa pengembalian mungkin merupakan hasil terbaik terlepas dari keputusan hukum apa pun, karena "spinosaurid terlengkap dari negara itu layak untuk dipamerkan secara lokal," katanya.
Menurut Cisneros, sangat penting untuk menyoroti isu-isu seperti ini meskipun dapat menyebabkan perselisihan antar peneliti.
Ia berpendapat, "Tidak ada cara untuk berbicara dengan sopan tentang kolonialisme ilmiah," tetapi hal ini perlu dilakukan karena merupakan "luka terbuka yang melanggengkan ketidaksetaraan sosial di negara-negara sumber."
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
KOMENTAR