Energi panas bumi digunakan sebagai langkah transisi ini. Komunitas internasional dan Bank Dunia menyambutnya. Narasi pun digunakan seperti pemanfaatannya yang lebih ramah lingkungan ketimbang energi fosil dan dapat memberdayakan masyarakat lokal.
Baca Juga: Bisakah Sustainability Bersanding dengan Keamanan dan Keterjangkauan Energi?
Kenyataannya tidak semanis yang ada di dalam narasi beredar. Sekitar 14 lokasi yang disurvei Smith dan rekan-rekan mengungkapkan adanya pertentangan dari kalangan masyarakat lokal. Pertentangan itu berkaitan dengan permasalahan kerusakan lingkungan yang disebabkan pembangunan dan aktivitas energi panas bumi.
"Jadi, ada gagasan juga yang harus menjadikan mereka (aktivis dan warga lokal) berada dalam posisi sebagai 'pelindung lingkungan' atau 'penolak'," ujar Smith. Sering kali aktivisme dibangun untuk menentang narasi dominan.
Smith juga menerangkan bahwa pendapat masyarakat kerap diabaikan kalangan promotor. Acap kali, sumber daya sosial dan budaya dianggap sebagai penghalang pembangunan.
Idealnya, Smith melanjutkan, pembangunan energi hijau harus selaras dan membantu keberlanjutan lokal dan memperhitungkan pendapat mereka. Oleh karena itu, untuk strategi mitigasi konflik polarisasi seharusnya memperhitungkan komunikasi, pertimbangan, dan aksi kolektif.
Meski demikian, pendekatan terhadap masyarakat adat dan lokal kerap kali tidak tepat untuk mewakili keseluruhan masyarakat yang terdampak pembangunan panas bumi.
Hasil studi mengungkap bahwa promotor energi panas bumi berkomunikasi dengan membujuk masyarakat lokal dan adat. Jika 1-2 orang dari kalangan pimpinan dianggap setuju, promotor segera menganggapnya sebagai keseluruhan masyarakat.
Ada pun pendekatan yang tidak lewat konsultasi, melainkan intimidasi, sehingga mendorong sebagian dari kelompok yang setuju dan tidak setuju. Cara ini bisa menciptakan polarisasi yang bertolak belakang dari strategi pemerintah dan masyarakat.
Menangkal polarisasi
Menurut Zainal, temuan Smith dan rekan-rekan menyadarkan kita akan situasi yang terlihat "kurang terpolarisasi", sejatinya mengubur polarisasi yang ada. "Berarti, ada wacana yang sudah dikontrol untuk membuatnya terlihat tidak ada polarisasi."
"Polarisasi adalah sesuatu yang dibentuk. Artifisial. Maka, pertanyaannya, cui bono--siapa yang diuntungkan?" terang Nicholas Adams, filsuf University of Birmingham yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Perbedaan akan selalu ada di setiap individu dan kelompok. Perbedaan bisa menghasilkan konflik, namun tidak selalu berbuah pada kekerasan karena nilai dan etika yang mengikat masyarakat. Adams melanjutkan, narasi politik sering membesar-besarkan perbedaan sehingga menciptakan polarisasi di kalangan masyarakat.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR