Nationalgeographic.co.id—Pemanasan global telah mempermudah bakteri dan kuman lainnya mencemari pasokan makanan. Ancaman perubahan iklim yang jarang dibicarakan ini setiap tahun membawa pelajaran menyakitkan—dan terkadang mematikan—bagi ratusan juta orang.
Salah satunya adalah Sumitra Sutar, 75 tahun, dari desa Haroli di negara bagian Maharashtra, India. Lima tahun lalu, Sutar menyantap nasi dan kari kacang lentil sisa, makanan pokok yang telah ia konsumsi selama lebih dari lima dekade. Namun kali itu, makanan rutinnya justru membuatnya muntah "setidaknya 15 kali sehari," kenangnya.
Belakangan ia mengetahui bahwa penyebabnya adalah bakteri yang terdapat dalam makanan, yakni Bacillus cereus, yang menghasilkan racun penyebab muntah, peradangan mata, dan infeksi saluran pernapasan.
Pemanasan global membuat bakteri ini semakin mudah tumbuh pada makanan yang disimpan setelah dimasak. Satu studi menemukan bahwa memasak nasi di rumah saja sering kali tidak cukup untuk mematikan spora bakteri tersebut.
Para peneliti dan tenaga kesehatan mulai menyuarakan peringatan: pasokan makanan kini semakin rentan rusak akibat gelombang panas ekstrem, banjir, dan kekeringan yang makin sering terjadi.
Panas ekstrem mempercepat pertumbuhan bakteri, sementara banjir parah dapat mencemari tanaman dengan limbah dan kotoran. Kelembapan tinggi pun mendorong pertumbuhan bakteri salmonella pada sayuran mentah seperti selada.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 600 juta orang jatuh sakit setiap tahun akibat penyakit yang disebabkan makanan, dan 420.000 di antaranya meninggal dunia. Anak-anak di bawah usia lima tahun sangat rentan; setiap tahun, 125.000 anak meninggal akibat penyakit yang sebenarnya bisa dicegah ini.
Berbagai faktor seperti praktik pertanian dan rantai pasokan pangan global memang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit ini. Namun, semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim juga memainkan peran besar.
Sebuah tinjauan studi yang diterbitkan di eBiomedicine tahun ini menyebutkan bahwa setiap kenaikan suhu sebesar 1°C dapat meningkatkan risiko penyakit akibat salmonella non-tifoid dan campylobacter, dua bakteri umum penyebab keracunan makanan sebesar 5%.
Rumah Kaca bagi Kuman
Perubahan iklim tak hanya berdampak pada cuaca ekstrem, tapi juga mempercepat kerusakan makanan dan penyebaran penyakit bawaan makanan. Di desa Haroli, India, Sumitra Sutar (75) mengalami muntah hebat usai mengonsumsi nasi sisa. Ia terinfeksi Bacillus cereus, bakteri yang kini lebih mudah tumbuh karena suhu panas mempercepat perkembangannya.
Suhu tinggi dan perubahan pola hujan telah memicu pertumbuhan bakteri seperti Salmonella, E. coli, dan Campylobacter. “Suhu tinggi mempercepat pertumbuhan bakteri dalam makanan seperti daging, susu, dan seafood,” kata Ahmed Hamad, dosen keamanan pangan di Universitas Benha, Mesir.
Studi di Meksiko menunjukkan kasus Salmonella tertinggi terjadi di wilayah bersuhu 35–37°C dengan curah hujan tahunan di atas 1.000 mm. Studi lain di Applied and Environmental Microbiology juga mencatat bahwa kelembapan tinggi akibat perubahan iklim mempercepat pertumbuhan Salmonella enterica, bakteri yang menginfeksi 1,2 juta orang tiap tahun di AS.
Produk siap saji menjadi lebih berisiko saat gelombang panas, karena tidak melalui pemanasan ulang untuk membunuh kuman. Banjir juga meningkatkan risiko: limpasan kotoran ternak bisa mencemari lahan pertanian, bahkan meresap ke akar tanaman. “Mencuci saja tidak cukup untuk menghilangkan patogen,” kata Hudaa Neetoo, ahli mikrobiologi pangan.
Ketika air bersih langka, penggunaan air limbah olahan untuk irigasi juga bisa menjadi sumber patogen jika tidak diproses dengan benar. “Satu saja salinan patogen bisa menyebabkan penyakit,” ujar Martin Richter dari Jerman. Ia menyarankan air bersih diprioritaskan untuk tanaman yang dikonsumsi mentah, sementara air olahan hanya untuk yang dimasak.
“Memasak makanan pada suhu 70°C selama minimal dua menit sudah cukup untuk membunuh sebagian besar patogen yang mungkin menempel di permukaannya,” katanya.
Miskonsepsi yang Umum Terjadi
Para ahli menekankan pentingnya edukasi tentang peran perubahan iklim dalam meningkatnya penyakit bawaan makanan.
“Banyak orang masih menganggap perubahan iklim hanya sebagai isu lingkungan, tanpa menyadari dampaknya yang besar terhadap kesehatan masyarakat, termasuk meningkatnya risiko penyakit akibat makanan yang terkontaminasi,” kata Ahmed Hamad.
Salah satu miskonsepsi yang umum adalah anggapan bahwa cuaca dingin dapat membunuh semua patogen. Padahal, kata Hamad, bakteri tertentu seperti Listeria tetap dapat berkembang biak dalam suhu rendah, sehingga tetap berisiko di iklim yang lebih sejuk.
Sementara itu, Padmashri Sutar mengaku sering mendapat interupsi saat menjelaskan penyebab meningkatnya penyakit akibat makanan. Banyak warga masih percaya bahwa satu-satunya penyebab penyakit tersebut adalah penanganan makanan yang buruk.
Namun dengan sabar, ia menjelaskan bahwa perubahan iklim memperparah penyebaran patogen di lingkungan dan sumber air.
“Orang-orang sulit menerima kenyataan bahwa perubahan iklim juga bisa menyebabkan penyakit,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa banyak warga tidak melaporkan gejala seperti muntah, demam, atau gangguan pencernaan karena menganggapnya sepele atau kasus yang terisolasi. Padahal, banyak orang di sekitarnya mengalami gejala serupa akibat makanan terkontaminasi.
Kini, Sutar menyebut dirinya sebagai penyuluh yang aktif menyuarakan kaitan antara iklim dan makanan.
“Saya minta orang-orang untuk tidak hanya memperhatikan pola cuaca yang berubah, tapi juga lebih sadar terhadap apa yang mereka konsumsi setiap hari,” katanya.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR