Nationalgeographic.co.id—Gurun Sahara yang terletak di Benua Afrika kini dikenal sebagai kawasan yang sangat kering. Padahal, dulunya tempat ini pernah menjadi wilayah yang subur, bahkan sempat dihuni oleh dinosaurus.
Menurut studi baru, 100 juta tahun lalu, Sahara Barat merupakan tempat yang subur bagi kelompok predator besar. Alih-alih gurun, wilayah itu ditutupi oleh sistem sungai besar yang mengalir melalui Maroko dan Aljazair saat ini.
Anehnya, ahli paleontologi hanya menemukan sedikit fosil dinosaurus pemakan tumbuhan yang hidup di sebagian besar dunia saat itu. Banyak fosil yang mereka identifikasi adalah milik dinosaurus pemakan daging, reptil terbang yang disebut pterosaurus, dan nenek moyang buaya modern, dilansir laman Popular Science.
"Tempat ini bisa dibilang sebagai tempat paling berbahaya dalam sejarah planet Bumi karena menjadi rumah bagi begitu banyak jenis predator dalam berbagai bentuk dan ukuran," kata Nizar Ibrahim, seorang paleontolog di University of Detroit Mercy.
"Sungai raksasa ini tidak seperti ekosistem lainnya saat ini, dan faktanya juga cukup unik dibandingkan dengan ekosistem zaman dinosaurus lainnya."
Ibrahim dan rekan-rekannya telah mengamati secara menyeluruh penghuni dan geologi ekosistem ini. Sisa-sisa penghuni wilayah ini terawetkan dalam formasi batuan di Maroko timur yang dikenal sebagai Kelompok Kem Kem atau lapisan Kem Kem.
Laporan mereka, yang diterbitkan pada tanggal 21 April di jurnal ZooKeys, didasarkan pada temuan tim dari dua dekade ekspedisi ke daerah tersebut dan kunjungan ke koleksi fosil di museum-museum di seluruh dunia.
Daerah yang dijuluki Kelompok Kem Kem terdiri dari lapisan batuan sedimen yang tersingkap di lereng curam yang panjang dan berkelok-kelok di dekat perbatasan antara Maroko dan Aljazair. Fosil-fosil yang ditemukan di sini merupakan kumpulan yang beraneka ragam.
Ibrahim mengatakan, "Anda bisa menemukan makhluk yang sangat kecil, amfibi kecil dan tanaman yang rapuh, hingga dinosaurus besar."
Beberapa fosil ini merupakan dinosaurus herbivora seperti sauropoda berleher panjang. Namun, makhluk ini tampaknya tidak seumum kerabat karnivora mereka, sebuah pola yang telah dicatat oleh para ahli paleontologi di berbagai lokasi di Afrika utara sejak tahun 1930-an.
Binatang buas yang menakutkan ini mencakup setidaknya empat dinosaurus predator besar. Satu termasuk dalam kelompok yang disebut abelisaurid, moncongnya yang pendek dan gigi yang relatif kecil menunjukkan bahwa ia mungkin adalah pemakan bangkai.
Baca Juga: Benarkah Rahasia Dinosaurus Pertama Justru Terletak di Dekat Garis Khatulistiwa?
Ahli paleontologi juga telah menemukan fosil dari Spinosaurus dengan moncong sempit dan gigi yang khusus untuk menusuk dan menjerat ikan, raptor berkaki cepat sepanjang sekitar 8 meter, dan pemburu besar dengan gigi bergerigi yang menyerupai pisau steak yang dikenal sebagai Carcharodontosaurus saharicus yang hampir seukuran T-rex.
Sementara itu, pterosaurus dengan lebar sayap antara 4 dan 6 meter terbang tinggi di atas kepala dan hiu serta makhluk mirip buaya sepanjang bus sekolah berkeliaran di perairan.
"Jika Anda datang ke tempat ini sebagai manusia, ada begitu banyak cara berbeda yang bisa membuat Anda mati," kata Ibrahim. "Anda tidak akan aman di mana pun."
Dengan memeriksa berbagai macam fosil dari lingkungan yang mengerikan ini, Ibrahim dan timnya berharap untuk lebih memahami bagaimana para predator hidup berdampingan dan apa yang mereka makan.
Para peneliti mengamati bahwa tengkorak milik karnivora dari Kelompok Kem Kem sangat bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa mereka terspesialisasi untuk memakan berbagai jenis mangsa.
Ini mungkin memungkinkan predator untuk saling menghindar dan menghindari persaingan untuk mendapatkan makanan yang sama. Dalam banyak kasus, makanan ini adalah makanan laut. Ikan tampaknya merupakan sumber makanan yang paling melimpah saat itu.
Ibrahim mengatakan bentang alam tempat tinggal hewan-hewan ini dipenuhi sungai-sungai, danau-danau, dan dataran lumpur yang berkelok-kelok. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut tidak dapat mendukung cukup banyak vegetasi dalam jangka waktu yang cukup lama untuk memberi makan sejumlah besar dinosaurus pemakan tumbuhan.
Akan tetapi, mungkin ada alasan lain mengapa ahli paleontologi hanya menemukan sedikit sisa herbivora besar di area ini. Sebagian besar fosil sauropoda dari wilayah ini berupa tulang tunggal atau fragmen yang terisolasi, bukan kerangka yang lebih lengkap, sehingga sulit menentukan spesies mana yang termasuk, kata Philip Mannion, ahli paleontologi di University College London yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Sauropoda juga cenderung memiliki gigi yang tampak serupa, dan tulang belakang yang lebih menonjol sering kali rapuh dan kecil kemungkinannya untuk diawetkan.
"Kita sebenarnya tidak bisa yakin apakah fosil-fosil itu bukan tanda bahwa dulu ada lebih banyak jenis makhluk hidup," katanya. Ada kemungkinan juga bahwa dinosaurus pemakan tumbuhan ini terutama hidup dan mati di habitat terdekat lainnya dan hanya jarang memasuki area yang kebetulan dilestarikan di Kelompok Kem Kem.
Baca Juga: Apakah Ayam Keturunan Dinosaurus? Ini Jawaban Ilmiah Profesor Genetik
Bagi Ibrahim, Kelompok Kem Kem adalah pengingat bahwa ekosistem di masa lalu bisa saja diatur oleh aturan yang sangat berbeda dari yang kita lihat sekarang.
Gurun Sahara pernah jadi tempat subur
Sebuah studi menunjukkan adanya periode lembap di Afrika Utara yang terjadi selama 800.000 tahun terakhir. Periode tersebut menjelaskan mengapa Gurun Sahara saat itu memiliki lanskap hijau.
Fase basah periodik di Gurun Sahara tersebut didorong oleh perubahan orbit bumi mengelilingi matahari dan tertekan selama zaman es. Untuk mengetahui Sahara bisa menghijau, ilmuwan iklim melakukan simulasi interval historis Gurun Sahara.
Dilansir laman Phys, Edward Amstrong, penulis utama studi mengatakan, "Transformasi siklus Gurun Sahara menjadi ekosistem sabana dan hutan adalah salah stau perubahan lingkungan yang paling luar biasa di planet ini."
Sebelum menjadi gurun seperti sekarang, terdapat banyak bukti bahwa Gurun Sahara pernah ditumbuhi tanaman di masa lalu, lengkap dengan sungai, dan danau. Hewan seperti kuda nil pun bergantung pada air.
Saat Periode Lembap Afrika terjadi, itu kemungkinan berperan penting dalam menyediakan koridor tumbuh-tumbuhan di luar Afrika, sehingga memungkinan penyebaran bebagai spesies, termasuk manusia purba ke seluruh dunia. Menurut peneliti, faktor yang memengaruhi hijaunya Gurun Sahara diperkirakan didorong oleh perubahan kondisi orbit Bumi, khususnya presesi orbit Bumi.
Presesi mengacu bagaimana Bumi berputar pada porosnya yang kemudian memengaruhi musim. Hasil pemodelan iklim lantas mengkonfirmasi Periode Lembap Afrika Utara terjadi setiap 21.000 tahun dan ditentukan oleh perubahan presesi orbit Bumi.
Hal itu menyebabkan musim panas yang lebih hangat di Belahan Bumi Utara dan meningkatkan curah hujan di Sahara, sehingga vegetasi tipe sabana bisa tersebar di seluruh gurun.
Kendati demikian periode lembap tidak terjadi selama zaman es, ketika terdapat lapisan es glasial besar yang menutupi sebagian besar wilayah lintang tinggi. Model iklim ini pun berhasil mengetahui perubahan masa lalu dan juga memahami perubahan di masa depan.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR