Nationalgeographic.co.id—Jauh sebelum asteroid raksasa memusnahkan dinosaurus 66 juta tahun lalu, benua Afrika ternyata menjadi pusat perkembangan pesat makhluk purba ini. Temuan fosil menunjukkan bahwa berbagai spesies dinosaurus sedang berada di puncak kejayaannya—berkembang biak dan menyebar luas—hingga akhirnya terhenti mendadak akibat bencana kosmik yang mengubah sejarah kehidupan di Bumi.
Perdebatan mengenai penyebab kepunahan massal ini telah berlangsung selama dua abad. Georges Cuvier, bapak paleontologi, meyakini bahwa kepunahan disebabkan oleh bencana besar. Sementara Charles Darwin berpendapat bahwa kepunahan terjadi secara perlahan, akibat perubahan lingkungan dan persaingan antarspesies dari waktu ke waktu.
Namun, seiring berkembangnya pemahaman kita terhadap catatan fosil, semakin jelas bahwa periode Kapur (145 juta hingga 66 juta tahun lalu) berakhir dengan gelombang kepunahan yang luar biasa. Dalam waktu yang relatif singkat, sejumlah besar spesies menghilang dari seluruh penjuru dunia.
Penemuan kawah Chixculub selebar 180 km di Meksiko mendukung teori bahwa kepunahan terjadi secara mendadak akibat dampak asteroid. Meski demikian, ada pula ilmuwan yang berpendapat bahwa kepunahan dinosaurus merupakan hasil dari penurunan keanekaragaman secara perlahan sebelum hantaman tersebut.
Menyusun cerita lengkap dari peristiwa ini bukanlah perkara mudah. Selain karena fosil dinosaurus sangat langka, catatan fosil yang ada pun tidak merata. Sebagian besar informasi tentang hari-hari terakhir dinosaurus berasal dari studi intensif di wilayah-wilayah tertentu seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Mongolia.
Sementara itu, jauh lebih sedikit yang diketahui tentang dinosaurus di wilayah selatan seperti Amerika Selatan, India, Madagaskar, Australia, Antarktika, dan Selandia Baru.
Keterbatasan ini sebagian besar disebabkan oleh faktor geografis—misalnya, sulit menemukan fosil dinosaurus di wilayah hutan hujan. Selain itu, secara historis, jumlah paleontolog dan museum yang aktif di belahan bumi utara memang jauh lebih banyak, sehingga gambarannya menjadi tidak seimbang.
Padahal, sebagai benua dengan daratan yang sangat luas, Afrika kemungkinan besar memiliki lebih banyak spesies dinosaurus dibandingkan Amerika Utara. Sayangnya, hingga beberapa tahun terakhir, kita hampir tidak tahu apa pun tentang dinosaurus Afrika pada akhir zaman Kapur.
Salah satu alasannya adalah karena sebagian besar daratan Afrika saat itu berada di bawah laut dangkal akibat aktivitas vulkanik yang sangat tinggi yang menyebabkan naiknya permukaan laut. Karena dinosaurus adalah hewan darat, fosil mereka jarang ditemukan di lapisan batuan laut. Namun "jarang" bukan berarti tidak ada. Jika kita cukup tekun mempelajari fosil laut, lambat laun kita tetap akan menemukan fosil dinosaurus.
Hal inilah yang terjadi di Maroko, tempat para peneliti telah meneliti banyak fosil laut selama bertahun-tahun.
Baca Juga: Amber Kecil di Jepang Ungkap Tsunami Dahsyat pada Zaman Dinosaurus
Apa yang Peneliti Temukan
Endapan fosfat di Maroko merupakan sisa dasar laut purba yang berasal dari jutaan tahun terakhir era dinosaurus. Lokasi ini kaya akan fosil tulang dan sisik ikan, gigi hiu, serta reptil laut seperti mosasaurus, plesiosaurus, dan penyu laut dalam jumlah besar. Namun sesekali, fosil dinosaurus juga ditemukan di sana.
Belum jelas bagaimana tulang-tulang dinosaurus bisa berakhir di sedimen laut. Mungkin saja, seperti rusa dan gajah masa kini, beberapa dinosaurus berenang ke pulau-pulau untuk mencari makanan dan kemudian tenggelam.
Bisa juga mereka terseret banjir atau badai dari daratan ke laut, atau hanyut melalui sungai hingga sampai ke muara. Ada pula kemungkinan mereka mati di tepi pantai dan terbawa pasang tinggi ke laut. Meski jarang, serangkaian kejadian seperti ini dapat menyebabkan fosil dinosaurus muncul di dasar laut.
Melalui penelitian fosil-fosil laut selama bertahun-tahun, para ilmuwan akhirnya berhasil merangkai potongan-potongan informasi tentang dinosaurus terakhir yang hidup di Afrika.
Dinosaurus akhir zaman Kapur di Afrika terdiri dari beberapa kelompok. Ada sauropoda titanosauria—pemakan tumbuhan berleher panjang sebesar gajah, serta dinosaurus herbivora bertubuh seukuran kuda dari kelompok hadrosaur atau "bebek raksasa".
Namun yang paling menarik adalah kelompok pemangsa, karena sebagai predator puncak, mereka memberikan gambaran penting tentang struktur ekosistem kala itu. Keberagaman dinosaurus predator ini menunjukkan bahwa mangsanya—para herbivora—juga beragam dan jumlahnya melimpah.
Salah satu predator utama adalah Chenanisaurus barbaricus, dinosaurus sepanjang sepuluh meter. Hingga kini, Chenanisaurus baru diketahui dari bagian rahangnya saja, namun itu sudah cukup untuk mengidentifikasinya sebagai anggota keluarga Abelisauridae—kelompok predator unik yang hidup di Amerika Selatan, India, Madagaskar, dan Eropa.
Sementara di belahan bumi utara, dominasi predator dipegang oleh tyrannosaurus. Abelisaurus memiliki moncong pendek seperti anjing bulldog, beberapa di antaranya bertanduk, dan lengan kecil yang bahkan lebih mungil dibandingkan lengan T. rex. Dua fosil abelisaurus telah ditemukan di Maroko.
Yang pertama diketahui dari fosil tulang kering (tibia). Ukurannya lebih kecil dari Chenanisaurus, panjangnya sekitar lima meter—terbilang kecil untuk ukuran dinosaurus, tetapi tetap besar jika dibandingkan dengan predator masa kini. Menariknya, fosil ini memiliki kemiripan dengan abelisaurus yang ditemukan di Amerika Selatan.
Hal ini membuka kemungkinan bahwa dahulu pernah ada hubungan daratan kuno antara benua-benua tersebut sekitar 100 juta tahun lalu. Alternatif lainnya, mungkin saja abelisaurus berenang melintasi selat sempit yang memisahkan benua-benua tersebut.
Fosil kedua berasal dari bagian kaki abelisaurid yang lebih kecil lagi, hanya sekitar tiga meter panjangnya. Ukuran dan bentuknya mirip dengan abelisaurid kecil yang ditemukan di Eropa, dan bisa jadi masih berkerabat dekat.
Dalam beberapa bulan terakhir, semakin banyak fosil dan spesies dinosaurus yang mulai ditemukan. Sebagian masih dalam proses penelitian dan belum bisa diumumkan secara rinci. Namun fakta bahwa hanya dari segelintir fosil bisa ditemukan begitu banyak spesies menunjukkan bahwa fauna dinosaurus Afrika kala itu sangat beragam.
Meskipun fosil dari dataran luas di Amerika Utara menunjukkan adanya penurunan keanekaragaman dinosaurus, hal ini mungkin hanya fenomena lokal—bukan gambaran global. Penurunan suhu global di akhir zaman Kapur bisa jadi hanya memengaruhi wilayah lintang tinggi.
Sebaliknya, di wilayah tropis seperti Afrika, dinosaurus masih berkembang dan bahkan menunjukkan tanda-tanda diversifikasi. Jika benar, maka ini mengindikasikan bahwa dinosaurus tidak punah karena melemah, tetapi karena dihantam bencana saat mereka sedang berada di puncak kejayaan—mereka terbakar dalam kepunahan, bukan memudar secara perlahan.
Apa yang Ditunjukkan oleh Temuan Itu
Keberadaan dinosaurus terakhir di Afrika—terutama beragamnya spesies dinosaurus predator—menunjukkan bahwa sebelum kepunahan mereka, dinosaurus masih hidup dalam kondisi yang sangat subur dan aktif.
Selama lebih dari 100 juta tahun, dinosaurus berevolusi dan beraneka ragam, menghasilkan berbagai spesies luar biasa: dari predator ganas, pemakan tumbuhan raksasa, spesies akuatik, hingga bentuk terbang yang kemudian berkembang menjadi burung.
Namun, semuanya musnah dalam satu momen bencana besar, ketika bumi diliputi kegelapan selama berbulan-bulan akibat debu dan jelaga dari hantaman asteroid. Dari semua itu, hanya sekitar setengah lusin spesies burung yang berhasil bertahan.
Evolusi, pada dasarnya, digerakkan oleh peristiwa-peristiwa langka dan tak terduga—seperti hantaman asteroid. Menariknya, ilmu pengetahuan juga sering maju berkat peristiwa langka—seperti penemuan tak disengaja fosil dinosaurus yang telah terkubur selama jutaan tahun di dasar laut.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, bidaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science,Cretaceous Research |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR