Nationalgeographic.grid.id—Raden Arya Sutajaya bersama dengan istrinya, Sri Arum Ningrum, sedang diliput bahagia. Pasalnya, keluarga bangsawan itu telah dikaruniai seorang anak perempuan yang mereka berinama Nyi Mas Ayu Permatasari.
Waktu ke waktu, Nyi Mas Ayu Permatasari yang lebih akrab dipanggil Sari telah tumbuh menjadi seorang gadis. Parasnya yang ayu membuatnya seketika menjadi kembang desa.
Sampai pada suatu ketika, kembang desa itu bertemu dengan seorang meneer Belanda. Ia bukan orang sembarangan. Peter van de Hood namanya, yang kala itu menjabat sebagai Komandan Militer di Bandung.
Setelah pertemuan itu, Peter van de Hood dalam tugasnya di Sumedang, berniat sekaligus untuk meminta Sari kepada kedua orang tuanya itu untuk dibawa ke Bandung. Maka, dari restu kedua orang tuanya, Sari menyandang status baru sebagai nyai dari seorang Eropa.
Sari dibawa untuk mengurusi kebutuhan hidup Peter di Bandung. Menjadi nyai, membuatnya—di satu sisi—lebih merawat diri. Kecantikannya sebagai bakat alami, kini semakin bertambah ayu lagi. Sampai tersiarnya kabar hingga ke berbagai daerah.
Orang-orang pada membincang seorang nyai dari Komandan Militer di Bandung sebab kecantikannya. Sari yang manis, memang kulitnya agak gelap, hingga disebut-sebut dengan panggilan Sari iteung (hitam). Dari sebut-sebutan itu juga hingga memunculkan panggilannya yang baru: Nyai Saritem.
Nyai Saritem senang bersanggul, dengan kebaya yang serba anggun, telah memesona orang-orang di sekitarnya. Barangkali, paras cantik jelitanya juga telah menggambarkan keayuan wanita Sunda.
Namun, tulisan-tulisan dalam sejarah Saritem menjadi hitam putih. Saritem digambarkan dengan dua wajah: Seorang gundik Eropa yang tak melulu dipandang buruk karena jasanya, atau Saritem yang cantik sebagai simbol erotisme.
Saritem galibnya digambarkan hitam nun kelam. Sebagaimana dalam riset Ferdian Achsani dalam jurnal Salingka berjudul Masyarakat Pribumi pada Masa Penjajahan Belanda dalam Novel Kisah Tanah Jawa Karya Mada Zidan dan Bonaventura De Genta, terbitan 2020.
Ferdian menggambarkan kelindan Nyai Saritem dengan dunia militer sebagai gundik seorang komandan militer. Hal itu menyeretnya pada kebutuhan seks serdadu. Bukan, bukan Saritem yang jadi sasarannya, melainkan tugasnya untuk mencarikan para serdadu, gadis-gadis sebagai pemuas nafsu.
Saritem diminta tuannya untuk mencarikan gadis-gadis yang dapat menjadi teman kencan para serdadu. Terlebih, Saritem mencarikannya untuk serdadu-serdadu yang masih lajang. Maka dari sinilah, kemudian Saritem dikenal dengan "bisnis lendirnya."
Baca Juga: Fenomena Pelacuran hingga Pornografi di Amerika Era Kolonial
Seiring berjalannya waktu, Saritem yang menjalankan upayanya itu lebih dikenal sebagai prostitusi. Tak hanya serdadu, para lelaki dari berbagai elemen sosial dan berduit dapat "mencicipinya."
Lama-kelamaan, upayanya berbuah menjadi uang. Usahanya menjadi geliat ekonomi kelam di Bandung. Maka dari sana, Saritem lebih dikenal sebagai "tokoh penting" di balik maraknya bisnis prostitusi di Bandung. Miris.
Lain cerita dengan gubahan dari seorang wartawan bernama Aan Merdeka. Aan, seorang jurnalis kenamaan, pernah menggubah tentang Saritem dalam bukunya. Dalam tulisannya itu, Nyai Saritem digambarkan sebagai sosok yang berjasa.
Aan Merdeka menyebut jika pada saat Saritem diminta menjadi seorang nyai di Bandung, di rumah Peter van de Hood, prostitusi sudah marak di Bandung.
Selama menjadi gundik, berita tentang prostitusi di sana telah sampailah pada telinga Saritem. Sebagai salah satu wanita bangsawan, Saritem menyayangkan dengan kehadiran bisnis lendir di Bandung.
Lebih-lebih, banyak dari kalangan Eropa hingga pribumi yang terjerat penyakit berjangkit dari hasil hubungan kotor dengan para lacur. Tapi, bukan hal itu saja yang bersarang dan mengganggu perasaan Saritem.
Nyai Saritem memikirkan tentang harkat martabat seorang perempuan kala itu. Kehidupan miskin yang melanda, kelaparan yang menderu-deru menerjang masyarakat kecil yang tak punya harta benda, mendorong perempuan melakukan apa pun demi menyambung hidup.
Keprihatinan yang mendalam ini, membuat Nyai Saritem berinisiasi membantu para perempuan untuk keluar dari jurang kehinaan mereka. Perempuan di zamannya sebagai pemuas nafsu lelaki belaka.
Nyai Saritem meminta kepada tuannya, untuk melapor kepada Pemerintah Kolonial agar menutup dan mengubah sistem dari prostitusi yang ada di Bandung selayaknya biro jodoh.
Polisi yang ditugaskan langsung berangkat dan menutup prostitusi itu, sekaligus memberi penegasan kepada para lelaki yang membutuhkan perempuan sebagai pemuas nafsu, mereka harus menjemputnya untuk dinikahkan secara resmi.
Maka, secara galib yang benar terjadi dalam kisah-kisah masa lewat, masih belum bisa diketahui. Hanya saja, dua wajah Nyai Saritem telah memberi pandangan kepada khalayak tentang adanya sejarah yang kontroversial melingkupi nama Saritem.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | jurnal SALINGKA |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR