Nationalgeographic.co.id - Saat ini, psikotes sudah menjadi satu syarat wajib bagi seseorang yang ingin mendapatkan sebuah pekerjaan. Jika tidak berhasil melewatinya, bisa jadi kita tidak akan diterima di sana. Banyak orang kemudian melihat tes ini sebagai sebuah momok dalam proses mencari kerja.
Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk menawarkan cara "mengakali" psikotes. Berbagai buku "petunjuk praktis" melewati psikotes kemudian menjamur di berbagai toko buku. Bahkan banyak juga yang berbagi tips melalui jalan daring.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah metode ini berhasil?
Dalam pelaksanaan evaluasi psikologis — pengganti istilah psikotes, psychotest, yang dirasakan janggal oleh berbagai psikolog — berlaku berbagai metode atau alat standar untuk mendapatkan gambaran mengenai aspek-aspek psikologis seseorang. Ada aspek kecerdasan, kepribadian, kemampuan berkomunikasi, dan semacamnya.
Gambaran berbagai aspek tersebut didapatkan sesuai dengan tujuan diadakannya evaluasi. Dalam pelaksanaan evaluasi psikologis, hasilnya dipakai untuk menentukan sesuai atau tidaknya seseorang di tempat dia melamar kerja. Setidaknya, evaluasi psikologis akan memberikan gambaran mengenai kecerdasan, kepribadian, dan sikap kerja.
Baca juga: Turis Taiwan Tewas Diserang Kuda Nil Ketika Sedang Mengambil Gambar
Dalam aspek kecerdasan, didapatkan gambaran mengenai taraf atau tingkat kecerdasan umum, daya analisis sintetis, daya abstraksi dan kreativitas. Dalam aspek kepribadian, tergambar pula kepercayaan diri, penyesuaian diri, pengungkapan diri, kemampuan sosial, kemampuan berkomunikasi, dsb. Dalam aspek sikap kerja, minimal ada gambaran aspek kecepatan kerja, ketelitian, ketekunan, dan daya tahan terhadap stres.
Bila diterapkan lebih mendalam, dari aspek kepribadian bisa didapatkan gambaran mengenai kecenderungan menonjolkan diri, keinginan bergaul atau berteman, dan pemahaman terhadap orang lain.
Dari aspek sikap kerja, bisa diperoleh gambaran tentang hasrat berprestasi, keinginan membantu orang lain, kebutuhan terhadap keteraturan atau bimbingan dari atasan maupun orang lain. Juga hasrat terhadap perubahan, kecenderungan mendominasi, kecenderungan agresivitas, dll.
Karena "kedalaman" inilah, seseorang tidak bisa mengandalkan hafalan dalam menghadapi evaluasi psikologis. Sedangkan dalam berbagai buku yang ada, yang dapat dipelajari hanya satu aspek saja, kecerdasan. Hal ini juga belum tentu akurat.
Harus "bebas budaya"
Metode, alat, atau perlengkapan untuk mengungkapkan aspek psikologis, selalu standar. Artinya, tidak dibuat dan disusun sembarangan karena hasilnya harus reliable, dan dapat dipercaya. Jadi, apa pun alat yang dipakai, hasilnya akan selalu sama.
Misalnya, bila seseorang dites dengan satu alat tes psikologi tertentu, maka hasilnya akan sama bila orang tersebut diukur menggunakan alat tes psikologi yang lain. Mengapa hal ini dapat terjadi? Jawabannya adalah, karena alat tes telah melalui serangkaian uji coba untuk dapat dikatakan reliabel.
Bahkan, alat tes yang berasal dari luar Indonesia juga harus mengalami penyesuaian terhadap norma dan budaya yang berlaku di Indonesia. Tes itu akan diuji di berbagai daerah, terhadap berbagai tingkatan sosial-pendidikan dulu, sebelum secara resmi dipakai di Indonesia.
Terutama kalau soal-soal (item) tes tersebut memakai banyak "kata" (words) yang mengungkap pengetahuan terkait aspek sosial-budaya suatu negara (misalnya, judul buku, nama pahlawan, istilah, pepatah).
Sebab, ilmu psikologi mengenal istilah tes "bebas budaya" (culture-free), yang tidak mengandung kata-kata khusus, dan pengerjaan jawaban hanya berdasarkan logika — yang secara universal pasti sama.
Evaluasi psikologis mencakup lima hal, yakni kecerdasan, kemampuan khusus (keuangan, teknik, komunikasi, menjual, dsb.), bakat, minat, dan sikap.
Tes kepribadian dapat berupa rangkaian pertanyaan, tugas menggambar atau tes grafts yang berlandasan sama dengan grafologis. Tes ini menilai coretan tangan hasil penerusan "getaran" dari dalam jiwa seseorang. Tidak heran bila Prof. J. Nimpuno, grafolog Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung, dapat mendeteksi suatu penyakit akut dalam diri seseorang, melalui tulisan tangan orang itu.
Baca juga: Terkena Dampak Polusi, Bangunan Taj Mahal Terancam Diruntuhkan
Mirip seperti profesor Nimpuno, seorang ahli tes grafts dapat dengan akurat mengungkapkan dan menggambarkan kepribadian seseorang hanya dengan melihat gambar yang dibuat oleh seseorang.
Sama dengan alat tes yang menggunakan kata, alat tes grafis juga telah melalui uji coba selama bertahun-tahun hingga akhirnya dapat digunakan secara reliabel.
Hasil evaluasi psikologis dapat mengungkapkan "penyimpangan" yang dialami seseorang secara klinis. Misalnya, mereka yang mengalami permasalahan psikologis (kesehatan mentalnya kurang baik atau terganggu).
Dalam konsultasi psikologis, orang ini datang ke psikolog. Lazimnya, psikolog memberikan tes grafts untuk memahami kondisi psikologis orang itu pada suatu saat. Biasanya hasil tes grafts ini digunakan untuk menemukan hal yang tak terungkap selama wawancara. Atau tes itu untuk mendukung hasil wawancara sebagai penemuan jalan keluarnya.
Hafal pun percuma
Dalam bidang industri, evaluasi psikologis tidak hanya dipakai untuk melengkapi tahapan seleksi, tetapi juga untuk keperluan inventarisasi kematnpuan karyawan (yang sudah bekerja di perusahaan).
Dengan mengikuti evaluasi psikologis, karyawan dapat dengan mudah dikelompokkan oleh perusahaan sebagai karyawan yang berpotensi dikembangkan, dan karyawan mana yang kurang dapat dikembangkan.
Oleh sebab itu, evalusasi psikologis bisa dikatakan sebagai gerbang untuk mendapatkan karyawan yang sesuai bagi perusahaan. Bila tidak dilakukan dengan baik, hal ini akan berimbas pada perusahaan.
Evaluasi psikologis juga dipakai dalam proses seleksi. Namun hasilnya harus disesuaikan dengan jabatan yang akan diisi. Istilah teknisnya, disesuaikan dengan job requirement jabatan tersebut.
Kalaupun ada soal-soal evaluasi psikologis yang sudah dihafal karena sudah berkali-kali diikuti hingga hasilnya "dapat direkayasa", tetap saja ada jenis evaluasi yang dapat mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Itulah sebabnya kalau proses seleksi berjalan baik dan akurat, maka akan ada orang-orang yang pasti tidak akan diterima untuk jenis pekerjaan tertentu, tetapi sesuai untuk jenis pekerjaan yang lain.
Hal ini sering disalahartikan. Banyak yang mengira seseorang pasti diterima bekerja, setelah ia mengikuti evaluasi psikologis berkali-kali. Padahal orang tersebut memang diterima karena tuntutan pekerjaannya sesuai dengan aspek yang dimilikinya.
Baca juga: Kisah Para Perempuan Pengangkut Barang di Peru Melawan Diskriminasi
Kegagalan jenis lain, mungkin seseorang berhasil melewati tahapan evaluasi psikologis, tetapi gugur di tahapan seleksi berikutnya. Berarti ia gagal "membuat diri sesuai" dengan tahapan yang diikutinya. Bisa jadi juga karena ia kalah bersaing dengan pelamar lain yang lebih baik kualitasnya.
Karena bebas memilih, perusahaan lebih suka mendapat karyawan yang diperkirakan akan memberi kontribusi lebih banyak, dibandingkan dengan calon karyawan yang kontribusinya rata-rata saja. Anda sendiri juga akan lebih memilih orang yang berdaya guna lebih daripada yang berdaya guna kurang atau rata-rata, bukan?
Ada hal yang perlu diperhatikan. Dalam dunia seleksi dikenal istilah 10 : 2 : 1. Artinya: untuk 2 jabatan (posisi) lowong yang sama, akan ada 2 dari 10 pelamar yang diterlima.
Tapi perusahaan hanya akan menemukan 1 orang yang sesuai betul dengan jabatan lowong tersebut. Jadi, kalaupun posisi lowong itu terisi, satu posisi lain akan diisi orang yang sebetulnya kurang sesuai. Meski begitu, saat ini kualitas pelamar sudah dianggap lebih baik, perbandingannya pun berubah menjadi 15 : 3 : 2.
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR