Nationalgeographic.co.id - The Great Pacific Garbage, atau Kumpulan-kumpulan sampah plastik di Samudera Pasifik kini meluas dengan ukuran yang sepertinya tidak masuk akal. Kumpulan sampah-sampah plastik yang mengambang di lautan antara Hawaii dan California ini terus membesar hingga berukuran 1,6 juta km2.
Luas hamparan sampah yang terapung ini hampir seluas daratan Indonesia (1,9 juta km2). Hal ini dilaporkan dalam jurnal Scientific Reports yang dipublikasikan oleh majalah Nature.
Dalam studi tersebut disebutkan bahwa sampah di wilayah ini telah mengalami peningkatan sebesar 10 hingga 16 kali lebih banyak dari jumlah yang diduga sebelumnya. Satu hal yang menjadi fakta menyeramkan adalah bahwa sampah di sana tidak mengalami pengurangan. Bayangkan, apa yang akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan.
Baca Juga : Setelah Filipina dan Hong Kong, Topan Mangkhut Kini Menerjang Tiongkok
Kepala penelitian, Laurent Lebreton dari The Ocean Cleanup Foundation, Delft, Belanda mengatakan bahwa konsentrasi plastik di lautan pasifik tersebut semakin memburuk dan mengkhawatirkan. Akumulasi plastik ini disebabkan oleh arus yang mengumpul dan angin permukaan laut yang rendah.
The Great Pacific Garbage Patch ditemukan pertama kali pada tahun 1990-an, dan sampah-sampah tersebut berasal dari negara-negara di Lingkar Pacific (Pacific Rim) yang tersebar di Asia, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan ditambah Lebretan.
“Ini adalah fenomena alami yang terjadi di semua cekungan samudra subtropis di dunia. Sebenarnya, ada empat lagi zona akumulasi seperti ini: Pasifik selatan, Atlantik utara, Atlantik selatan, dan Samudra Hindia,” ujarnya.
The Great Pacific Garbaga Patch bukan kumpulan plastik yang padat, melainkan terdiri dari 1,8 triliun bagian plastik. Sampah ini diperkirakan memiliki bobot 88 ribu ton, atau setara dengan 500 pesawat jet jumbo.
Mikroplastik menyumbang 8 persen dari total jumlah plastik yang mengapung di area luas tersebut.
Dari sekitar 1,8 triliun plastik, terdapat komponen yang lebih besar dari mikroplastik. Di antaranya seperti jaring ikan, mainan, hingga dudukan toilet.
Berikut ini adalah sejumlah penemuan dari penelitian tersebut, seperti dikutip dari BBC pada Selasa (18/9/2018):
Baca Juga : Harus Menahan Sakit, Inilah Tradisi Kerik Gigi Bagi Wanita Mentawai
Untuk meneliti tingkat keparahan polusi di Samudra Pasifik utara, sejumlah peneliti melakukan survei udara. Mereka juga berhasil mengumpulkan 652 jaring yang mengapung di sana. Setiap tahun, jutaan ton plastik berakhir di laut, beberapa hanyut ke dalam sistem pusaran arus laut yang besar yang dikenal sebagai gyres.
Setelah terjebak dalam sirkulasi atau pusaran arus laut tersebut, plastik akan tercacah dan terurai menjadi mikroplastik yang tak telihat secara kasat mata. Mikroplastik ini akan tertelan oleh satwa laut. Dengan demikian, bisa saja manusia memakan satwa laut yang mengandung mikroplastik tersebut.
Dampak terhadap hewan laut
Dikutip dari Mongabay, Dr. Agung Dhamar Syakti, peneliti pencemaran laut yang juga seorang Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Riau, menjelaskan bahwa sampah plastik di lautan tentu berdampak pada satwa laut.
“Sampah besar dimakan organisme besar seperti penyu dan dugong yang menyangka sampah plastik itu adalah makanan mereka, yaitu ubur-ubur. Dan sampah plastik yang berukuran lebih kecil akan dimakan makhluk hidup yang lebih kecil seperti ikan kecil dan plankton. Meski hal tersebut belum diteliti lebih lanjut,” kata Agung.
Agung menjelaskan bahwa di dalam sampah plastik yang resisten, juga terdapat bahan pembentuk plastik yang bersifat toksik. Sehingga ketika terluruhkan dalam plastik, bahan toksik itu akan terserap oleh organisme.
Selain itu, bahan kimia yang terdapat pada permukaan plastik — seperti hidrokarbon — juga akan terserap masuk sistem pencernaan organisme. Bahan kimia ini kemudian akan masuk ke dalam jaringan tubuh.
Baca Juga : Peneliti Temukan Vaksin untuk Menyembuhkan Penyakit Kanker Kulit
Beberapa laporan menyebutkan bahwa bahan kimia Bestenol A dan B bertanggungjawab atas kemandulan ikan. Hal ini disebabkan karena sifat bahan kimia ini mirip seperti hormon.
Dampak langsung letal (mematikan) pada satwa laut tidak ada, tetapi ada pengaruh jangka panjang. “Kalau sampah sudah menjadi mikro plastik, penanganan sudah susah,” ungkap Agung.
Senyawa kimia plastik yang bersifat karsinogenik (penyebab kanker) akan masuk dalam tubuh. Tidak hanya itu, hal ini juga akan menyebabkan mutagenik (mutasi gen karsinogenik) yang dibuktikan dalam literatur ilmiah, walau hal ini belum terlihat dalam jumlah besar.
Dampak mikroplastik terhadap satwa laut tidak seketika, tetapi bisa berdampak signifikan di masa mendatang.
#BumiAtauPlastik #SayaPilihBumi
Source | : | mongabay.co.id |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR