Nationalgeographic.co.id – Ketika pergi merantau untuk kuliah, pindah ke kota baru, atau hanya liburan selama seminggu, kita akan mengalami homesick. Perasaan merindukan rumah ini bahkan menjadi subjek cerita dalam buku, lagu, maupun film.
Namun, apa yang sebenarnya terjadi ketika mengalami homesick, dan mengapa itu sangat mendalam hingga terkadang dirasakan fisik kita?
“Homesick sangat berkaitan dengan keterikatan,” ujar Joshua Klapow, psikolog klinis dan profesor kesehatan publik dari University of Alabama.
Ketika mengalami homesick, kita akan merasa tidak aman dan nyaman dengan diri sendiri. Baik secara fisik maupun emosional.
“Pikiran kita merindukan suatu hal yang sudah diketahui, diprediksi, konsisten, dan stabil,” imbuhnya. Namun, itu tidak ada hubungann dengan situasi spesifik di masa lalu atau keadaan saat ini.
Baca Juga : Bali Peringkat 4 Jumlah Penderita Gangguan Jiwa Berat di Indonesia
Dengan kata lain, seseorang bisa tumbuh dalam suasana rumah yang kurang ideal – mungkin berjuang dengan masalah kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, atau lainnya – namun tetap merasakan homesick setelah sampai di lingkungan yang damai dan indah.
Tamar Chansky, psikolog dan pengarang buku Freeing Yourself From Anxiety, menekankan bahwa kerinduan adalah hal yang sangat normal dalam pengalaman hidup manusia.
“Ini merupakan transisi antara dua dunia. Saya sering menggunakan analogi kolam renang: awalnya tidak nyaman saat masuk ke sana, tapi lama-lama, Anda akan terbiasa dan merasa nyaman,” paparnya. Begitu pula dengan homesick, jika sudah terbiasa, itu tidak akan ‘menyakitkan’ lagi.
Namun, menurut Ricks Warren, profesor psikiatri di University of Michigan, homesick juga bisa dikaitkan dengan pengalaman dan emosi sulit yang dirasakan manusia.
“Homesick telah digambarkan sebagai reaksi kesedihan – mirip dengan kehilangan orang yang dicintai. Ada kerinduan yang terasa familiar,” paparnya.
“Homesick juga sering dikaitkan dengan depresi dan kecemasan akibat sulit menghadapi lingkungan baru. Mereka yang sedang homesick terkadang mengalami insomnia, tidak nafsu makan, sulit berkonsentrasi. Itu kondisi yang sangat melelahkan,” imbuhnya.
Tentu saja, setiap orang mengalami homesick dengan cara yang berbeda-beda. Klapow mengatakan, biasanya dia mengategorikan manifestasi gejala fisik dari homesick ke dua jenis ‘keranjang’ yang berbeda.
“Yang pertama adalah ‘keranjang’ kecemasan. Saat homesick, Anda akan merasakannya di perut – membuat tidak nyaman, gugup, stres, dan tegang karena berada di tempat atau situasi yang tak familiar.
Itu akan memicu respons fight or flight. Semacam hal adaptif yang melindungi diri kita dari bahaya ketika ada sesuatu yang tidak diketahui.
“Ketika kita berpikir tentang rumah, kita akan merasa aman karena tahu tidak ada bahaya di sana. Jadi perasaan tersebut membuat kita ingin pulang ke rumah,” papar Klapow.
Baca Juga : Tingkat Pembunuhan Tinggi, Kondisi Afrika Selatan Mirip Zona Perang
Selain itu, ‘keranjang’ kedua adalah tentang kesedihan dan kerinduan.
“Kenyamanan rumah menjadi seseorang yang kita rindukan dan itu dapat menciptakan kesedihan,” jelas Klapow.
Bagaimana mengatasinya?
Chansky, Klapow, and Warren setuju bahwa cara utama mengatasi homesick adalah dengan menormalkan perasaan tersebut.
“Katakan kepada diri sendiri bahwa ini adalah hal yang normal. Perasaan buruk hanya terjadi sementara dan akan berubah nantinya,” kata Chansky.
Ia menyarankan, jika mulai rindu terhadap rumah, sebaiknya kita menemukan kedai kopi atau tempat lain yang dapat dikunjungi berulang-ulang hingga terasa familiar. Seiring berjalannya waktu, itu akan membentuk kelekatan baru.
“Homesick merupakan bagian dari sebuah proses. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk melakukan penyesuaian dan memegang kendali atas rasa rindu tersebut, Jika kita terus beradaptasi dengan transisi, maka kita akan merasa lebih nyamand an terhubung dengan tempat baru,” pungkasnya.
Source | : | Huffington Post |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR