Nationalgeographic.co.id - Kebakaran lahan dan hutan yang kerap terjadi di Sumatra Selatan menciptakan puluhan titik api yang merepotkan para petugas pemadam.
Titik api sendiri telah muncul sejak tiga bulan lalu hingga awal Oktober 2018. Pembakaran yang sengaja dilakukan ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah kebakaran ini sebuah tindak kejahatan atau sebagai sebuah perlawanan.
Seperti dilansir dari Mongabay pada hari Rabu (10/10/2018), Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang mengatakan bahwa pembakaran yang dilakukan merupakan sebuah bentuk perlawanan. Menurutnya, sangat tidak mungkin masyarakat tidak tahu larangan dan sanksi yang akan diberikan terhadap pelaku pembakaran lahan.
“Sikap warga itu merupakan perlawanan terhadap ketidakadilan dan hegemoni pemilik modal. Perlawanan juga terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat atau kaum tani,” ujarnya.
Baca Juga : Mengorbit Exoplanet, Penemuan Pertama Bulan di Luar Tata Surya
Misalnya, ketika masyarakat desa hidup di tengah pertanian atau perkebunan yang luasnya mencapai puluhan, hingga ratusan hektare, tetapi dikuasai oleh perusahaan, sementara di satu sisi mereka hanya memiliki lahan yang terbatas.
Akibat keterbatasan anggaran dan teknologi, mereka tidak mampu untuk mengelola lahan tersebut dengan baik.
Yenrizal menambahkan bahwa pemerintah telah melarang mereka untuk membakar lahan, tetapi pemerintah tidak memberikan bantuan teknologi atau anggaran yang dibutuhkan. Sehingga kondisi ini membuat mereka kecewa dan marah.
"Jadi perlawanan mereka itu dengan membakar, mungkin diam-diam,” ungkap Yenrizal kepada Mongabay. Masyarakat juga tidak lagi peduli dengan aturan dan larangan pemerintah.
Yenrizal menegaskan bahwa penanganan persoalan kebakaran hutan dan lahan harus ditanggapi secara serius, sebab jika tidak, akan membentuk kelompok masyarakat yang antinegara.
Presiden juga harus mengukur setiap bukti kegiatan yang dilakukan di lapangan, seperti apakah tindakan yang dilakukan sesuai sasaran atau tidak sehingga manfaatnya dapat terlihat dengan jelas.
Baca Juga : Dahsyatnya Kecepatan Isap Lubang Hitam Terhadap Materi di Luar Angkasa
DD Shineba, dinamisator Kedeputian III BRG (Badan Restorasi Gambut) wilayah Sumatra Selatan, mengatakan bahwa permasalahan yang terjadi merupakan sebuah dilema.
“Jika mengacu UU 32 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat hukum adat boleh membuka lahan dengan cara bakar. Tapi berbeda dengan aturan yang lain. Di Sumatra Selatan ada perda yang isinya melarang pembakaran lahan oleh perusahaan maupun warga,” ucap Shineba, melansir dari Mongabay.
Menurutnya, agar tidak terkena hukuman, masyarakat akan membakarnya secara diam-diam. Padahal, kebiasaan ini lebih berbahaya dari yang biasa dilakukan.
Shineba sepakat bila yang dilakukan oleh masyarakat memang bentuk perlawanan, tetapi tidak diketahui siapa penggerak dibalik pembakaran tersebut karena dilakukan secara diam-diam dan tidak jelas.
Kondisi ini terjadi karena tidak ada insentif dari pemerintah, seperti pengetahuan pengelolaan lahan tanpa harus dibakar, serta teknologi penunjangnya. Hal inilah yang mengakibatkan ketimpangan sosial yang tinggi.
Insentif yang diinginkan bukan berarti uang, melainkan berupa pengetahuan dan teknologi. Bila perlu juga dihadirkan teknologi hasil pangan atau pertanian. Yang pasti, pemerintah jangan hanya melarang tanpa diberikan dukungan yang cukup.
Baca Juga : Black Dahlia, Kasus Pembunuhan dan Mutilasi yang Tidak Terpecahkan
Apabila masyarakat diperlakukan tidak adil, mereka tidak segan-segan untuk melawan. “Benteng etika sebagai manusia di tengah masyarakat juga melemah,” kata Shineba.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh Mongabay Indonesia, informasi mengenai pelaku pembakaran masih sulit didapatkan karena setiap warga mengaku tidak mengetahui pelaku pembakaran. Selain itu, aparat kepolisian, petugas, dan pemadam kebakaran juga minim informasi.
Meski begitu, warga akan selalu siap untuk ikut memadamkan hutan dan lahan yang terbakar.
Source | : | mongabay.co.id |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR