Seorang serdadu NICA melayangkan tinjunya tepat di muka seorang pewarta yang tengah meliput kedatangan kesatuan semimiliter tersebut di serambi Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) di Tunjungan, Surabaya. Pewarta yang apes nasibnya itu adalah Abdul Wahab Djojowirno, seorang pewarta foto dari Kantor Berita Antara.
Serdadu-serdadu Netherlands Indies Civil Administration (NICA) bersama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) menjejakkan armadanya pada 25 Oktober 1945 di Surabaya. Mereka datang dengan misi untuk melucuti senjata serdadu Jepang sebagai pihak yang kalah perang, mengevakuasi para tawanan perang, dan memulihkan pemerintahan sipil dan hukum Belanda.
Meskipun Abdul telah berujar bahwa dia adalah seorang pewarta foto, serdadu itu tetap tak peduli. Si serdadu telah menduhnya sebagai seorang penyelidik Republik, lantaran Abdul telah mengambil beberapa foto tentang situasi kerumunan di serambi hotel tersebut. Ironisnya, serdadu itu adalah seorang pribumi yang berpihak kepada NICA.
Apa daya, sang pewarta foto itu pun dipaksa menyerahkan satu rol film yang masih ada di dalam kameranya. Saksi atas kejadian itu adalah Bung Tomo yang merupakan seorang pewarta tulis asal Surabaya. Si Bung turut bertanggung jawab atas keselamata Abdul lantaran dialah yang mengajak Abdul untuk meliput ke hotel itu. Mungkin sikap tanggung jawab muncul lantaran Bung Tomo pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Domei, sebuah kantor berita pada masa Jepang.
Di serambi Hotel Yamato, Bung Tomo berkata dalam bahasa Belanda kepada serdadu NICA. Dia turut menjamin bahwa Abdul bukanlah mata-mata yang ditugaskan untuk menyelidiki kedatangan mereka. Dia juga menegaskan bahwa lelaki malang yang kena tinju tadi adalah seorang pewarta foto. Akhirnya, perseteruan berhenti dan kedua pemuda itu pun meninggalkan Hotel Yamato.
Kesaksian peristiwa kekerasan terhadap pewarta tersebut telah ditulis oleh Bung Tomo dalam bukunya 10 November yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbitan Balapan Djakarta pada 1951.
“Saudara Wahab adalah salah seorang bangsa Indonesia yang pada saat revolusi bergelora menjadi orang pertama yang menerima pukulan dari pihak musuh negara Republik Indonesia,” tulis Bung Tomo. “Sejak saat itu, dalam jiwaku tertanam sebuah perasaan tanggung jawab yang lebih besar terhadap negaraku yang masih muda itu.”
Sekitar dua minggu setelah kedatangan serdadu NICA dan AFNEI, rakyat Surabaya bergolak memanas sehingga terjadilah pertempuran 10 November 1945. Kelak, pertempuran tersebut dikenang sebagai perlawanan terhebat sejak Republik ini berdiri.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR